Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Bukan Pertama Mengenal Pagi

Hari ini ada bersitan kuat dalam kepala untuk segera mengubah diri. Bangun setengah lima pagi. Mandi. Solat subuh. Menyiapkan sepatu, dan lari.  Aku merasakan kakiku sangat ringan. Dengan jaket dan celana pendek, langkah kakiku kupercepat. Namun aku masih malas untuk mendengar hiruk pikuk yang ada di sekitar. Aku pasang headset ke telinga. Kudengarkan radio pagi dengan isi acara yang tanpa banyak pilihan. Berita AS, kuliah subuh, dan lagu religi. Berkali-kali aku pindah saluran radio, tetap tiga jenis acara itu yang terdengar. Akhirnya aku pilih saluran berita dari VOA. Khas berita yang menggemakan nama Amerika, teroris, dan kekuasaan Amerika di Asia. Kejengkelanku itu malah mendorongku untuk terus lari. Satu blok aku lewati, kemudian belok ke selatan menuju pasar Baru di jalan Gubernur Suryo Lumajang. Aku tetap memilih jalur lurus sampai satu blok kemudian aku belok kanan. Asap kendaraan sangat terasa. Padahal kendaraan pagi itu masih sedikit. Kontras sekali dengan di

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.

Orang Biasa

Dua minggu ini banyak hal yang menjadi perhatian saya. Banyak pelajaran juga yang saya dapat dari berbagai macam hal tersebut. Mulai dari pekerjaan, keluarga, dan asmara. Ditambah lagi bagaimana cara pandang saya terhadap sosial masyarakat di sekitar saya. Oh ya satu lagi, saya juga merasa ada keberjarakan antara saya dan tuhan. Saya benar-benar merasa menjadi manusia biasa. Saya pikir saya adalah orang yang sentimentil. Saya tidak bisa berfokus pada satu hal. Semuanya sepertinya terus memasuki pikiran saya silih berganti. Kadang-kadang juga berbarengan. Apalagi ketika pada kondisi dimana saya berhenti dan memikirkan hal itu semua. Sebenarnya langkah demi langkah sudah saya pastikan untuk berjalan. Hanya saja, sama sekali progress reportnya sering kali tertinggal. Bahkan hilang. Padahal, ingatan itu harusnya terus bisa mengisi puzzel-puzzel kehidupan saya. Sehingga saya bisa dikatakan mampu belajar dari pengalaman. Kemampuan belajar yang saya miliki ternyata tidak bisa sa

Belajar Komentar dari Teater Indonesia

Saya benar-benar tidak mengerti apa yang harus saya komentari dengan beberapa fenomena-fenomena ini. Kurs mata uang Rupiah sedang anjlok, ada orang bernama Tuhan, ada penggusuran Kampung Pulo, ada Rizal Ramli. Sebelumnya ada Trigana Air, ada Muktamar NU plus Muhammdiyah. Ada juga sebelumnya MUI sedang sibuk merespon masalah riba. Terbentuk sebuah panggung teater di sana. Banyak orang yang pastinya menyaksikan dengan berbagai macam emosi. Khususnya bagi orang-orang yang ada di daerah. Yang jauh dari pusat pemerintahan.  Ada yang marah, ada yang panik, ada yang buat grup hatres, ada yang jadi lovers. Sepertinya semua orang memang masih ingin jadi bagian dari negeri ini. Kalau tidak, pasti banyak orang yang tidak acuh dengan semua itu. Begitu juga dengan saya secara pribadi. Ada keinginan untuk selalu merespon gejala-gejala yang ada di atas pentas tersebut. Saya tidak bisa hanya berdiam dengan beberapa hal yang mengganggu nurani saya. Mungkinkah itu senada atau malah berkeba

Biar Nggak Lagi Mikirin Kamu

S udah lama saya tidak nyampah di blog ini. Benar memang kata orang, kalau sudah kerja tidak banyak yang bisa dilakukan. Kesibukan kerja membuat orang jadi lupa apa yang menjadi passionnya. Yah yang namanya kerja pasti ada tuntutan dan beban kerja yang ditanggung. Saya mencoba untuk tidak larut, pada awalnya. Namun ternyata memang kompleks apa yang menjadi sebab saya bisa lupa dengan keinginan saya dulu. Yang awalnya hobi, malah jadi beban kerja yang sama sekali tidak asyik. Itu terus berlanjut sampai saat ini ketika menulis keluh kesah yang tidak berarti. Mungkin saja saya memang terlalu mudah lupa dengan hal-hal penting. Sesuatu yang sangat fatal sebenarnya. Malahan, hal-hal yang sepele seperti mikirin kamu itu yang membuat saya sering membuang waktu untuk mengenang. Padahal kalau dipikir-pikir itu tak punya arti apa-apa. Terlalu menyita banyak waktu. Menyita fokus kerja yang bisa menambah penghasilan dan menyusun masa depan. Terus kalau ada pertanyaan, apakah ketika m

Antara Aku, Kau, dan Ibumu

M alam-malam begini dengar lagunya Jamrud. Terasa langsung menyentil ke jantung. Sepertinya lagu-lagu satir seperti itu lebih gampang ngena . Karena dia lebih lugas menyampaikan maksud. Tidak bertele-tele, apalagi terlalu mendaramatisir, seperti tulisannya para orang-orang yang mengaku bermoral. "Tidur lah nak, malam telah larut. Jangan tunggu ibumu yang telah kabur"  Sedangkan kamu, harus ganti popok anakmu, sampai anakmu bertahun-tahun lamanya bisa berdiri, lari, atau sampai menikah nanti. Sebenarnya itu sangat gamblang bagaimana kamu ditinggalkan, dan terlalu sayang dengan apa yang ditanamkan oleh dia. Lelaki bisa hilang gengsinya karena kehilangan seorang wanita. Siapa yang mau seorang lelaki harus menjadi bapak sekaligus ibu. Akan lebih sedikit ditemui daripada seorang ibu yang juga menjadi bapak. Jamrud mencoba untuk menentang budaya patriarki itu. Malahan mereka mencoba memberikan kesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Suara kasar Jamrud pun tida

Kelas Menulis Jurnalistik #5 Tahapan Awal Masuk Dunia Jurnalistik: Mengikuti perkembangan Bahasa

Bahasa itu selalu berkembang sesuai dengan dinamika sosial. Begitupun juga dengan tulisan. Ini adalah satu aspek untuk menarik pembaca. Sekecil apapun perubahan pada bahasa, dapat dideteksi dengan reaksi orang-orang yang menerima. Dengan bahasa masyarakat berkomunikasi satu sama lain. Semakin dinamis sebuah bahasa, semakin berkembang pula kebudayaan masyarakat. Karena semakin kompleks permasalahan yang terjadi. Otomatis kita memang harus peka dengan segala macam fenomena yang ada di sekitar kita. Apalagi sebagai seorang jurnalis, kita akan memegang tren bahasa yang sedang pop di masyarakat. Media apapun itu, karena memang menawarkan sebuah wacana untuk terus dikonsumsi oleh masyarakat. Di situlah sebenarnya peluang seorang jurnalis. Semakin kita peka dan kreatif terhadap mengolah dinamika sosial, bakalan selalu dilirik oleh masyarakat. Peka dalam arti sebagai seorang jurnalis harus berani menafsirkan setiap kondisi yang ada. Sebuah fenomena mungkin bagi kebanyakan orang adalah

Kelas Menulis Jurnalistik #4 Tahapan Awal Masuk Dunia Jurnalistik: Evaluasi Struktur Tulisan

Menulis itu perkara yang mudah. Setiap orang yang bisa berbicara, intinya berkomunikasilah, pasti bisa menulis. Tidak ada yang tidak bisa dibahasakan. Memang berawal dari kontiunitas. Dari sana kita harus menelaah satu persatu karya tulisan kita. Bagaimana seseorang akan dapat mendapatkan sebuah hasil jika tidak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Nah, evaluasilah yang menjadi peranan paling besar dalam kecepatan proses. Dalam proses mengevaluasi tentu saja juga membutuhkan perbandingan. Apa yang membuat kita bisa mengetahui sejauh mana capaian kita. Ya, tentu saja adalah perbandingan. Perbandingan di sini berarti pengetahuan tentang standar tulisan kita. Namun bukan berarti kita harus membandingkan tulisan kita dengan tulisan-tulisan orang lain. Ketakutannya adalah kita malah akan cenderung meniru karakter tulisan orang lain. Sebaiknya memang kita tetap percaya diri dengan tulisan kita sendiri. Setiap tulisan pasti mempunyai karakternya masing-masing. Dan itu pasti akan tero

Kelas Menulis Jurnalistik #3 Tahapan Awal Masuk Dunia Jurnalistik: Intensitas Menulis

Belajar jurnalistik harusnya memang selalu terus menulis. Apapun tulisannya, apalagi diawal. Biar saja orang membaca dan komentar jelek terhadap tulisan kita. Yang terpenting setiap hari terus menerus menulis. Sekalipun jangan pernah berhenti. Ya, tahapan yang ketiga adalah kontinuitas. Pasang target setiap hari berapa tulisan yang harus dihasilkan. Selain itu juga jumlah kata atau karakter juga harus ditentukan batas minimalnya. Dari kebiasaan itu nantinya kita akan terolah untuk menulis apapun meski mungkin hanya sekelebatan ide muncul. Nah, manfaatnya nanti kita akan terus bisa mengembangkan meskipun ide yang kita dapatkan hanya sependik satu ungkapan saja. Yang terpenting memang harus terus menulis dan menulis. Untuk awal tidak usah khawatir ketika di dalam tulisan terlalu banyak pengulangan. Kuantitas menulis itu dengan sendirinya akan membuat kita juga terbiasa untuk membuat pola-pola dalam tulisan kita. Kita akan mulai melihat struktur tulisan kita. Apakah deduktif, indukt

Kelas Menulis Jurnalistik #2 Tahapan Awal Masuk Dunia Jurnalistik: Narasumber

Setelah belajar mengenai analisis sosial sederhana, langkah selanjutnya sebagai seorang jurnalis adalah memperbanyak narasumber. Jurnalistik bukan hanya kerja di depan meja. Melainkan gabungan antara kerja otak dan kaki. Jurnalistik yang bidang keilmuannya menempatkan manusia pada poros, tentu harus bisa menggali info dari orang-orang yang punya informasi. Kita tidak hanya bisa menggunakan pengamatan tentang deskripsi pristiwa saja. Melainkan harus mencari sebuah komentar dari orang yang benar-benar mengetahui sebuah peristiwa. Kita tidak akan mendalami kontroversi di dalamnya mengenai bagaimana sebuah peristiwa itu benar atau tidak. Karena wacana itu nantinya juga akan kita bahas di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dalam konteks ini, kita hanya akan berbicara mengenai narasumber yang harus kita temukan. Atau potensi nara sumber yang pastinya akan selalu menjadi mitra seorang jurnalis. Nah, nara sumber yang saya maksud di sini adalah orang-orang yang bisa kita mintai keterangan d

Kelas Menulis Jurnalistik #1 tahapan awal masuk dunia jurnalistik

Kali ini kelas menulis membahas tentang tahapan awal memasuki dunia jurnalistik. Berdasarkan aliran baru jurnalistik, yaitu jurnalisme warga. Aliran ini hadir karena dukungan teknologi yang kian memberikan kemudahan bagi setiap warga untuk menyampaikan buah pikirnya. Tentu saja media sosial yang semakin hari, semakin banyak penggunanya itu akan memberikan dampak yang sangat luar biasa. Bisa saja medsos itu hanya dijadikan ajang curhat atau sebuah bentuk kontribusi terhadap sosial, tergantung dari penggunaannya. Lewat jurnalisme warga inilah setiap orang yang mempunyai keinginan terhadap perkembangan daerah akan semakin leluasa untuk terus berkontribusi. Maka dari itu, setiap orang harusnya belajar mengenai jurnalistik. Agar apapun yang ditulisnya tidak keluar dari kode etik, sehingga bisa dipertanggung jawabkan. Paling tidak tulisan-tulisan kawan-kawan tidak hanya menjadi angin lalu saja. Bisa dianggap sebagai karya jurnalistik yang berpengaruh terhadap perkembangan potensi daerah,

Hari Pertama Orientasi Wartawan

Hari pertama magang jadi wartawan, beginilah rasanya. Aku belum pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang akan masuk di dunia jurnalis. Mungkin saja aku termasuk orang yang beruntung berada di suasana kerja yang punya unsur kekeluargaan yang lekat. Karena memang setiap lembaga punya masing-masing kultur yang membedakan antara satu dengan lainnya. Kantor Radar Semeru, Lumajang Kemarin aku berkesempatan untuk orientasi di Radar Semeru. Bisa dikatakan anak cabang dari Radar Jember dari ibu perusahaan koran Jawa Pos. Di sini sejak awal bertemu dengan pak Rasyid yang diberi tugas sebagai penanggung jawab sekaligus pemred, terasa berebeda. Tidak sesuai perkiraanku bahwa pekerjaan sebagai seorang wartawaan akan dipenuhi dengan hal-hal yang keras. Tapi itu perkiraanku ketika melihat bagaimana teman-teman baru sangat friendly sekali. Pak Rasyid bilang, "yang penting kamu bisa enjoy di sana." Kata pak Rasyid itu ternyata memang aku temukan garisnya dengan apa yang d