Langsung ke konten utama

Hari Pertama Orientasi Wartawan

Hari pertama magang jadi wartawan, beginilah rasanya. Aku belum pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang akan masuk di dunia jurnalis. Mungkin saja aku termasuk orang yang beruntung berada di suasana kerja yang punya unsur kekeluargaan yang lekat. Karena memang setiap lembaga punya masing-masing kultur yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Kantor Radar Semeru, Lumajang

Kemarin aku berkesempatan untuk orientasi di Radar Semeru. Bisa dikatakan anak cabang dari Radar Jember dari ibu perusahaan koran Jawa Pos. Di sini sejak awal bertemu dengan pak Rasyid yang diberi tugas sebagai penanggung jawab sekaligus pemred, terasa berebeda. Tidak sesuai perkiraanku bahwa pekerjaan sebagai seorang wartawaan akan dipenuhi dengan hal-hal yang keras. Tapi itu perkiraanku ketika melihat bagaimana teman-teman baru sangat friendly sekali. Pak Rasyid bilang, "yang penting kamu bisa enjoy di sana." Kata pak Rasyid itu ternyata memang aku temukan garisnya dengan apa yang dikatakan oleh Arimac dan Hafid, dua orang senior baru di Radar Semeru.
Sore hari kemarin aku datang di kantor. Pak Rasyid bilang paling nggak untuk orientasi awal, kenalan dengan teman-teman. Saya pun datang meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang belum bisa aku tinggalkan di Jember. Aku masih terikat dengan pekerjaan sebelumnya, yaitu mengajar. Ya hari ini aku secara bulat tekad akan menyerahkan surat pengunduran diri.
Orientasi hari itu berjalan begitu tenangnya. Aku hanya diajak muter-muter dikenalkan jalan Luamajang kemudian memotret untuk rubrik couple. Setelah itu aku diberikan tugas menulis COng Kenek, salah satu rubrik fiksi guyonan ala Lumajang. Aku gk tahu apa nanti akan dimuat atau tidak, tapi apa salahnya mencoba membuat.
Selesai menulis ternyata di luar kantor sudah gelap, aku diajak Arimac untuk makan. Ini yang membuatku agak heran, di depan kantor terdapat tiga bangunan dengan satu nama kedai, bakso super. "Nang kene sing akeh bakso," kata Arimac.
Makan sambil ngobrol memang sudah biasa. Banyak hal yang aku obrolkan dengan Arimac, terkait beberapa hal tentang budaya kantor, alasan kerja, renca-rencana ke depannya. Aku sudah terbiasa dengan Arimac, karena sudah lama kenal dengannya. Dia pesan untuk coba diseriusi kerjaan ini. Karena di Lumajang beda dengan di Jember. Di sini lebih santai dan kita nggak goblok ketika kerja, Tulisan-tulisan yang kita muat lebih soft dan mendalam.
Setelah makan malam mas Hafid gantian yang ngajak untuk ngopi. Obrolan juga tidak jauh-jauh dari apa yang disampaikan oleh Arimac. Dia cerita banyak hal tentang karakter wartawan-wartawan di sini, karakter pejabat-pejabat, budaya yang terjadi antara narasumber dan wartawan. Cuman aku sangat berterima kasih ketika mas Hafid memberikan sarannya, "Untuk awal mending kamu coba cari berita sendiri dulu, kumpulkan nomor-nomor narasumber, jangan mudah diajak ngopi dengan teman sesama wartawan karena akan mengurangi produktifitasmu, bahaya kalau di awal. Dan yang paling penting kamu harus berjarak dengan siapa pun, tapi jugajangan terlalu jauh. Banyak daerah rawan di sini, hati-hati, dan jangan lari dari tanggung jawab, dari masalah yang menimpamu. "Aku pernah diancam mau dibunuh, tapi aku nggak lari, aku temui dia, dan alhamdulillah, dia malah berbalik sangat baik. Setiap lebaran pasti dia ngasi THR-an," kata Hafid.
"AKu sebenarnya iri sama kamu, dulu aku tidak pernah mendapatkan seperti ini. Tapi gk papa, aku nggak kepingin apa yang aku alami dulu menimpa orang lain," katanya diulang berkali-kali.
Soperti itulah awal dari kerja yang nantinya akan aku jalani, entah sampai kapan. Aku hanya bisa berdoa untuk kelancaran dan BAROKAH, hehe... dan memulai hidup lebih serius. Begitukan?!

Komentar

  1. waaah.... sudah jadi wartawan ya mas guru?? selamaaatttt :D

    BalasHapus
  2. wahh, wartawan senior, ajarin saya dong biar bisa masuk radar semeru juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. arek magang aku cuy, sek arek wingi sore, deloken lha amburadul tulisanku,haha...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.