Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Agen Neptunus: Menyerahkan pada Gelombang

"Masih sulit?" katanya. Satu kalimat pertanyaan ambigu yang membuatku menahan nafas. Berat. Pertanyaan ini mengandung beberapa tafsiran. Bisa jadi pertanyaan retoris, sindiran, atau malah memang pertanyaan sinis. Dia memang sengaja memberikan kesan-kesan itu. Agar aku terus menjaga jarak. Menyerahkan kepada gelombang dan angin laut di mana sebuah botol yang terlempar dari atas kapal di tengah laut, akan bersandar. Botol tersandar (terdampar) oleh gelombang laut. "Aku sudah terlanjur ketagihan denganmu, mas," katanya. Pertanyaanku terus menerus mengalir mencari asosiasi dan pembenaran-pembenaran lewat setiap kata-kata, sorot mata, dan reaksi-reaksi lain darinya. Sering pula aku menemukan korelasi dari kata-katanya dengan buah harapanku untuk bisa memilikinya. Kemudian, aku menjadi semakin egois. Mengambil porsi waktu terbesar dari setiap waktu luangku untuk menekannya dengan pertanyaan-pertanyaan. Terus menerus mencari korelasi antara kata-kata yang dia ungka

Merasa Hidup di Car Free Day

Pagi tadi aku merasa terlahir ke dunia. Ketika kulihat sinar matahari pagi, yang warnanya kuning cerah, hangat, dengan udaranya yang dingin-dingin menyejukkan. Banyak orang dengan memakai pakaian trining, kaos, sepatu cat , naik sepeda, jalan, menuju ke satu arah alun-alun kota Jember. Sinar matahari itu menurun, memendekkan bayang-bayang pohon, gedung, rumah, dan bangunan lainnya yang menghalanginya dariku. Aku, di atas sepeda motor mengangkat tanganku setinggi mungkin untuk meraih sinarnya. Tanganku menghangat, saat sinarnya mulai mengenai ujung-ujung kukuku. Ada keceriaan mencoba membuncah dari dadaku, lantaran sensasi yang sudah lama tak kurasakan. Alun-alun kota, sedang berlangsung car free day. Kuparkir sepeda dan berjalan mengikuti arus manusia mengitari lapangan berbentuk lingkaran. Keceriaanku juga aku hembuskan ke setiap orang lewat gelagatku dan tablo-tablo layaknya seorang lakon dalam teater. Gerakan-gerakan "aneh" mengikuti instruktur senam di lapangan,

Idul Adha: Khotib yang tidak tahu permasahan perbedaan

Idul adha menjadi momen suci bagi kaum muslim sedunia. Seperti halnya hari raya idul fitri, hari ini menjadi waktu berkumpulnya keluarga dan kerabat-kerabat dekat. Mereka tidak sedikit yang berbeda faham, ideologi, dan pendapat. Namun, bagaimana yang akan terjadi jika ternyata ada orang yang mengklaim dirinya paling benar dan tidak menghargai pendapat orang lain? Tidak Seharusnya Membakar yang Lain [http://nietroozz.blogspot.com/2005_07_01_archive.html] Kemarin, saya pergi mengunjungi seorang kawan di Probolinggo. Hari itu bertepatan dengan hari Jum’at sekaligus menurut penanggalan qomariyah, adalah hari tarwiyah. Ada juga yang menyebutnya Arofah. Perbedaan penanggalan ini sudah umum terjadi. Dan banyak orang sudah mulai terbiasa dengan perbedaan tanggal-tanggal qomariyah. Seperti halnya hari raya idul fitri kemarin. Banyak orang tak lagi mempermasalahkannya. Mereka tetap menjalankan ibadahnya masing-masing, sesuai dengan keyakinan kelompoknya masing-masing. Hanya saja

Berawal dari Public Sphere

Waktu senggang selalu ingin kita lewatkan dengan mengunjungi tempat-tempat asyik. Bersama kawan-kawan, dengan cara bergaul ala kita. Dengan cara pandang ala kita memandang hal-hal di sekitar kita. Tidak soal bagaimana sebuah tempat itu memberikan pemandangan atau fasilitas-fasilitas kesenggangan. Yang terpenting malah bagaimana sebuah tempat itu memberikan kita kebebasan untuk menjadi kita. http://citris-uc.org/related-research/project/visualizing-ambivalence-public-sphere/ Menjadi kita, adalah ungkapan untuk mencari sebuah persamaan dari berbagai macam perbedaan. Menjadi kita dalam konteks ini bukan permasalahan fisik atau material. Lebih pada persamaan pandangan, prinsip, hobi, ataupun tujuan. Kita mengenalnya lewat berbagai macam komunitas. Sebuah wadah bentukan hubungan sosial masyarakat dengan kesadaran. Tentu saja di dalamnya pasti terbentuk nilai-nilai. Nilai-nilai itulah yang akan membentuk dunia kita. Kadang saya menyebutnya dengan dunia idealisme. Sebuah duni

Ruang Kosong

“Lihatlah angin! Jika tak mampu melihatnya, dengar suaranya! Rasakan dengan kulitmu! Simpan angin itu, bawa ke mana saja kau akan pergi! Kemudian gunakan angin itu untuk menerbangkan dirimu ke mana saja kau mau!” Semua materi di dunia ini selalu bisa dibuktikan dengan indra. Melihatnya, mendengarkannya, merasakannya, kemudian menamainya, membentuknya dalam pikiran. Beruntung kita punya memori yang secara sadar maupun tidak sadar membentuk dunia kita. Mengisi sedikit demi sedikit dunia, lewat cara pandang masing-masing individu. Yang bisa berlaku universal dengan berbagai macam kesepakatan di antara manusia. Proses indrawi itu sebenarnya adalah proses individu. Masing-masing manusia berbeda dalam menafsirkannya. Ketika kita melihat sebuah benda, misalnya gelas di depan kita, kita punya gambaran bebeda-beda. Karena kita tidak pernah sama dalam melihatnya. Sudut pandang, latar belakang budaya, dan pengalaman selalu saja membuat kita tak pernah melihat satu hal yang sama.

Gitar, Raket, dan Leri

Pertanda apa ini? ketika tiga kali secara beruntun, aku diingatkan dengan sang mantan. Lewat benda-benda yang menyimpan kesan sosoknya. Raket, gitar, dan leri (air cucian beras). Untung saja kenangan itu muncul tidak dengan rasa sesak. Entahlah, yang jelas bibirku menyimpul mengingat kilasan gambaran masa lalu itu. Kemarin malam, awal dimulai kilasan kenangan itu. Meski sebelum-sebelumnya, gitar yang dia beri sebagai kado ulang tahunku itu, telah membuatku kebal tentang kenangan. Lagi-lagi dengan seorang kawan yang biasa membicarakan tentang segala hal. Lewat topik yang sangat sederhana, cerita keseharian. Jika kalian tidak pernah menemukan relasi seperti ini, antara aku dan kawanku itu, jangan membayangkan yang tidak-tidak. Memang sedikit agak aneh. Dua orang lelaki berbicara tentang aktivitas keseharian. Ah janganlah dibayangkan. Aku terpaksa menulis ini hanya untuk menunjukkan betapa kami terbuka satu sama lain. Itu saja. Bukan berarti ada relasi khusus di antara kami. Kami nor

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Keterjebakan Semu

Tentang seorang kawan. Mungkin bisa dikatakan sahabat. Atau malah orang yang sangat dekat namun berjarak. Aku tidak bisa mengkategorikannya ke dalam sebuah tingkatan status hubungan pertemanan. Pastinya adalah dia seorang yang saat ini dalam kondisi kosong. Dan itu membuatku bingung. Karena akulah orang yang selalu diajaknya sharing dang diskusi. Tentang dunia kami. Asmara, sosial, politik, budaya, seni, dan organisasi. slowbuddy.com Aku lupa dengan awal kami bertemu. Dan juga lupa kapan kami bisa begitu dekat. Kata kawan saya yang lain, hal itu tidak usahlah dipikirkan. Karena basa-basi seperti perkenalan dan semacamnya hanya sebuah usaha untuk mencari keuntungan pribadi. Bukan ketulusan. Seperti ketika seorang anak mengenali ibunya. Toh pada akhirnya kami bisa begitu dekat. Sering sekali kami berbicara tentang dunia kami masing-masing. Tentang buah pikiran dan pendapat yang tidak selalu sama. Bukan untuk saling mengungguli satu dengan yang lain. Tapi karena alasan m

Aku dan Macapat

Aku ingin terus memenuhi janjiku untuk terus menulis. Dengan topik bahasan yang aneh, ataupun hanya sekedar cerita datar. Karena aku rasa titik roda masaku kembali pada titik paling bawah. Aku begitu sangat merasa bodoh sekali. Aku gunakan semua kata ‘lebih’ itu untuk menegaskan bahwa memang demikian yang terjadi. Aku masih tidak tahu, tulisan ini akan bisa panjang atau malah hanya sekedar paragraf-pragraf pendek yang tidak menarik. Aku hanya ingin memenuhi kewajibanku saja. Bila ada orang yang mengatakan kalau tulisanku jelek, atau aku hanya ‘nelek’ memang demikian adanya. Aku ingin membiasakan diriku untuk terus menulis. Mengulang kalimat kemarin, “Aku menulis untuk meringankan beban kepalaku untuk mengingat.” Aku tambahkan, “Dan memahami tentang sesuatu.” Tidur panjangku. Bukan sebuah metafora atau bentuk analogi. Ini kalimat yang memang berarti secara tekstual. Karena memang rata-rata aku tidur lebih dari enam jam tiap hari. Meski aku tak pernah tidur malam, tapi hari-hari

Metode Baru Menulisku

Aku malam ini menyelesaikan satu buku. Novel karangan Maalouf, seorang penulis dari timur tengah. Buku itu berjudul Baltasar Oddisey pencarian Nama Yang ke Seratus. Konsep penulisan yang dibawakannya membuatku sangat tertarik ingin meniru. Seperti penulisan diary. Pengemasannya begitu mudah dicerna dengan bahasa sehari-hari. Tidak begitu panjang. Pesis sekali. Hampir tiap hari dalam waktu satu tahun, tulisan itu selesai. Dengan begitu banyak tanggal sesuai dengan hari dalam satu tahun. Namun, dia menggunakan benang merah satu peristiwa. Sehingga cerita itu menjadi satu kesatuan utuh. Menurutku ini sangat mudah untuk ditiru. Dengan kata-kata sederhana dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari pun bisa saja setiap orang menuliskannya dengan mudah. Tinggal bagaimana kita bisa memfokuskan pada satu benang merah. Sang tokoh, di dalam buku hariannya sering mengulang kata-kata, “Aku harus menulis tiap hari. Karena menulis membuatku bisa meringankan beban dalam kepala.” Satu hal yan

Meng-Aku

Aku. Kata pertama yang ingin sekali ku tulis. Pun dalam setiap bahasa. Lewat kata, simbol, dan isyarat lainnya. Putaran matahari telah memberikan keputusan, aku harus lebih lekat lagi. Pada satu persepsi. Hal-hal yag lebih dari sekedar bersifat pribadi. Lebih dari itu. Lebih dari apapun dari setiap pemaknaan. Jarak telah ku buat. Dan aku kehilangan pendengaran. Setiap bunyi nafas, derap jantung, bahkan sampai pada suara yang membuatku mencintai hidup ini. Indra perasaku semakin bebal. Sulit merasakan sakit. Mungkin aku menginginkan sakit. Mungkin aku menjadi semakin bodoh. Tapi prihal bodoh itu pasti. Pada saat yang sama bayanganku melihatku dalam cermin, kebodohan itu semakin akut. Bentuk dukungan dari kenyamanan dan kebodohan adalah dua hal yang sama. Kemudian, sakit dan pengetahuan juga dua hal yang sama pula. Semakin rumit. Padahal aku ingin menulis dengan sederhana. Dari satu kata. Aku. Aku tak bisa mengontrol. Kenapa semua hal selalu lepas. Menjauh dari kesederhanaan.

(Bukan) Monumen Gumuk Kerang

Perjalanan Para Pemuda Penantang Matahari Bagian #2 Menjejak tanah siang pada bulan puasa bagaikan melangkah di atas bara api. Diperlukan keyakinan dan ketabahan untuk berdamai dengan memori kepala. Yang selalu percaya bahwa matahari jam dua siang akan membakar kulitmu, menguras energimu, apalagi kondisi puasa yang penuh dengan batasan. Ini bukan soal tujuan tawaran keindahan alam di puncak Gumuk Kerang, tapi ini soal keyakinan dalam memegang prinsip. Dari buaian kampus, saya, Ulil, dan Budi meneruskan perjalanan melintas tembok Universitas Jember. Sebuah tembok yang seolah membatasi dan memberikan jarak antara civitas akademika dan warga sekitar kampus. Kontras terlihat antara di dalam dan di luar tembok. Rumah-rumah berderet tak beraturan dengan berdempetan, bahkan mungkin ketika dilihat dari atas seperti saling bertumpuk satu sama lain. Rumah-rumah itu, tembok, dan besarnya bangunan gedung kampus terlihat kontras. Mungkin hanya terlihat dari tampak luar saja, tapi terkadang