Langsung ke konten utama

Agen Neptunus: Menyerahkan pada Gelombang

"Masih sulit?" katanya. Satu kalimat pertanyaan ambigu yang membuatku menahan nafas. Berat. Pertanyaan ini mengandung beberapa tafsiran. Bisa jadi pertanyaan retoris, sindiran, atau malah memang pertanyaan sinis. Dia memang sengaja memberikan kesan-kesan itu. Agar aku terus menjaga jarak. Menyerahkan kepada gelombang dan angin laut di mana sebuah botol yang terlempar dari atas kapal di tengah laut, akan bersandar.

Botol tersandar (terdampar) oleh gelombang laut.

"Aku sudah terlanjur ketagihan denganmu, mas," katanya. Pertanyaanku terus menerus mengalir mencari asosiasi dan pembenaran-pembenaran lewat setiap kata-kata, sorot mata, dan reaksi-reaksi lain darinya. Sering pula aku menemukan korelasi dari kata-katanya dengan buah harapanku untuk bisa memilikinya. Kemudian, aku menjadi semakin egois. Mengambil porsi waktu terbesar dari setiap waktu luangku untuk menekannya dengan pertanyaan-pertanyaan. Terus menerus mencari korelasi antara kata-kata yang dia ungkap dengan buah harapan yang semakin membesar.

Seperti tulisan yang aku baca dari teman blogku barusan. Aku semakin seperti orang yang ingin melabeli barang. Padahal dia manusia utuh yang punya kesadaran. Rasa ingin memiliki membuat kesadaranku tertutup oleh pikiran-pikiran eksploitatif yang biasanya dimiliki oleh orang-orang berduit. Ingin terus menguasai sampai tidak ada lagi yang tersisa. Keinginan yang tak berbatas.

Aku rasa memang demikian, ada semacam ketakutan. Tuhan tidak mengizinkan pertemuan di masa yang akan datang. Ketika hari ini riuh tanda-tanda jelas di depan mata, bisa jadi besok akan terhapus seketika. Apa memang benar ada sebuah kepemilikan yang mutlak di dunia?Ketika setiap orang terlahir papa dan mati tak berdaya. Banyak orang berkata kita harus mencoba!. Menjadi seorang yang tanpa jemu berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan aku pun sering lupa, tidak selalu sebuah awal akan menentukan akhirnya.

Dia dengan keceriaan yang selalu hanya bisa aku bayangkan, terus menerus membuatku harus berlari. Seperti seorang anak kecil yang membuntut kakaknya. Membalik prilakuku sendiri yang seharusnya lebih dewasa dari padanya. Selalu memintanya dengan ini itu, mencari perhatiannya, dan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan kekanakan.

Dia bisa membuatku tersenyum dan melupakan waktu. Tidak ada waktu lain yang aku inginkan kecuali bisa bersamanya. Dan dia begitu apik memainkannya. Akhirnya membuatku merasa bahwa memang pertemuan itu adalah hal yang paling aku inginkan. Aku sangat mudah sekali terpengaruh dengannya. Bahkan mungkin apa yang dia inginkan dengan sekuat tenaga akan aku penuhi.

Persis sekali. Aku memang masih seperti pemuda-pemuda lain yang memiliki cinta platonik. Mengurung diriku pada sebuah tempat yang tidak seorang pun bisa masuk, kecuali aku izinkan. Aku terkurung dan terpenjara dengan harapan-harapan besar akan dunia. Alih-alih demikian, padahal yang aku pikirkan hanya dunia kecil milikku sendiri. Ya, seperti itulah aku adanya. Hanya bisa berkata-kata saja. Tidak pernah melakukan apa-apa.

Aku tidak mencoba membenarkan diriku sendiri. Ketakutan dan keegoisan yang aku tuliskan tadi bukan bermaksud membuat agar aku dimaklumi. Karena itu adalah salah satu hal yang aku benci, menjadi oportunis. Aku pun belum menemukan alasan yang tepat kenapa aku menuliskannya. Mungkin karena memang demikian. Tidak ada yang aku lakukan.

Tapi aku harus mendengar perkataan banyak orang. Tentang bagaimana kita harus terus berusaha. Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan. Bukan malah ketakutan dan menjauh mencari tempat aman. Mungkin aku egois atau kekanak-kanakan, tapi aku mencintainya dengan apa adanya. Ibarat layar sudah terkembang, tempat yang dituju akan menjadi tujuan lain setelah keberanian di tengah badai dan gelombang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.