Aku. Kata pertama yang ingin sekali ku tulis. Pun dalam
setiap bahasa. Lewat kata, simbol, dan isyarat lainnya. Putaran matahari telah memberikan
keputusan, aku harus lebih lekat lagi. Pada satu persepsi. Hal-hal yag lebih
dari sekedar bersifat pribadi. Lebih dari itu. Lebih dari apapun dari setiap pemaknaan.
Jarak telah ku buat. Dan aku kehilangan pendengaran. Setiap
bunyi nafas, derap jantung, bahkan sampai pada suara yang membuatku mencintai
hidup ini. Indra perasaku semakin bebal. Sulit merasakan sakit.
Mungkin aku menginginkan sakit. Mungkin aku menjadi semakin
bodoh. Tapi prihal bodoh itu pasti. Pada saat yang sama bayanganku melihatku
dalam cermin, kebodohan itu semakin akut. Bentuk dukungan dari kenyamanan dan
kebodohan adalah dua hal yang sama. Kemudian, sakit dan pengetahuan juga dua hal
yang sama pula.
Semakin rumit. Padahal aku ingin menulis dengan sederhana. Dari
satu kata. Aku. Aku tak bisa mengontrol. Kenapa semua hal selalu lepas. Menjauh
dari kesederhanaan. Terpecah-belah. Bercabang dan semakin sulit. Seperti kicauan
burung-burung firtual. Yang paruhnya tak pernah merdeka. Meniru dan sumbang.
Aku pernah mencoba menarik paruhku. Kemudian ku lemparkan
segenggam beras di latar. Ada saja burung-burung yang mau hadir dan mengajak
berkicau. Berbicara tentang beberapa dari jutaan topik. Mencoba untuk membentuk
satu kanal besar yang mampu menghanyutkan burung-burung di sekitarnya. Ah,
konyol. Burung-burung itu. Alih-alih ingin bebas. Burung-burung itu menjebakkan
diri ke dalam sangkar.
Seiring ceracau yang semakin nyaring. Aku menjadi sebentuk
lipatan benang kusut. Terjepit pada setiap kata yang pernah kuucap sendiri. Diserang
oleh setiap benang lembut, namun tajam menyayat.
Ketika kukatakan bahwa dunia semakin sempit oleh persepsi. Tanpa
sempat ku berpikir, dunia itu kemudian menghimpitku sendiri. Lewat batas
cahaya. Dari dunia yang ku lihat. Dari kerapuhan kaki dan nafas. Kemudian kepala
yang terlalu lama bersandar. Hingga darahnya menggumpal menjadi sekepal beban
yang menggantung. Serupa pemberat dari keterjagaan.
Tak lagi aku pikirkan tentang hal-hal yang seharusnya bisa
menuntunku pada rasa lapar. Iya, sebuah rasa yang mengharuskanku mengingat kepulangan.
Mengingat lagi hulu darahku. Mengingat lagi budi sambung nafasku. Dan awal
mulanya bibit moral dalam darahku. Yang mengajariku tentang nilai-nilai luhur
dan kearifan.
Di sini. Suatu tempat yang bebas dari keterikatan. Menjauhkanku
dari setiap bekal-bekal itu. Nilai-nilai itu. Darah itu. Dan rasa lapar itu. Aku
berada di tempat yang jauh dari jangkauan suara ibu. Kedewasaan yang seharusnya
membuatku mengingat kembali tentang aku, malah tak ingin aku sentuh.
Aku menyalahkan waktu dan dunia yang tak lagi sama. Aku masih
melihat dunia ini dengan mata anak-anak. Mata yang selalu lupa dengan segalanya
saat bermain. Bedanya, mataku tak ada lagi rindu dan air mata pada kepulangan. Lapar
yang aku rasa, bukan rasa lapar seorang manusia. Rasa lapar ini hanya unsur
biologis dalam tubuh. Tak ada kait penghantar pada impuls saraf rindu.
Dunia ini menjadi arena bermainku. Dunia yang membuatku
berjarak pada diriku. Dunia yang menghilangkanku. Dunia yang memusnahkanku. Hingga
tak lagi bisa ku temukan diriku.
Kemudian, setelah semua hal yang membuatku nyaman dan bodoh
itu, kuputuskan untuk meng-Aku. Satu kata yang ingin kembali kutempelkan di setiap
dinding pembatas.
Komentar
Posting Komentar