Waktu senggang selalu ingin kita lewatkan
dengan mengunjungi tempat-tempat asyik. Bersama kawan-kawan, dengan cara
bergaul ala kita. Dengan cara pandang ala kita memandang hal-hal di sekitar
kita. Tidak soal bagaimana sebuah tempat itu memberikan pemandangan atau
fasilitas-fasilitas kesenggangan. Yang terpenting malah bagaimana sebuah tempat
itu memberikan kita kebebasan untuk menjadi kita.
http://citris-uc.org/related-research/project/visualizing-ambivalence-public-sphere/ |
Menjadi kita, adalah ungkapan untuk mencari
sebuah persamaan dari berbagai macam perbedaan. Menjadi kita dalam konteks ini
bukan permasalahan fisik atau material. Lebih pada persamaan pandangan,
prinsip, hobi, ataupun tujuan. Kita mengenalnya lewat berbagai macam komunitas.
Sebuah wadah bentukan hubungan sosial masyarakat dengan kesadaran. Tentu saja
di dalamnya pasti terbentuk nilai-nilai. Nilai-nilai itulah yang akan membentuk
dunia kita.
Kadang saya menyebutnya dengan dunia
idealisme. Sebuah dunia yang akan selalu hidup di dalam ruang, dan waktu
sendiri. Yang nantinya akan kita rindukan, yang akan selalu kita cari untuk
melepas ketegangan hidup. Karena secara berangsur dalam sebuah proses waktu
tertentu, tempat itu memberikan banyak ruang untuk kita mencari diri kita. Tempat
kita menemukan kesadaran, pandangan, prinsip, dan tujuan hidup.
Di sana kita mengenal lebih dalam dari pada di
tempat lain. Di sana kita membasuh rasa haus dari apa yang dinamakan
eksistensi, salah satu faktor terbentuknya keutuhan diri dari manusia. Dan
menjadi kita adalah sebuah kebebasan.
Sebuah kelompok pun akan selalu bersinggungan
dengan kelompok lain. Tidak dipungkiri sering kali terjadi perselisihan. Dalam
lingkup sangat kecil katakanlah di sebuah kampus, banyak terjadi persinggungan
antar unit kegiatan mahasiswa. Kebanyakan malah perselisihan itu tidak pernah
diketahui akar permasalahannya. Bisa saja konflik itu dipicu karena konflik
warisan, konflik pribadi anggota, atau karena suatu bentukan dari elit
birokrasi kampus.
Di lingkup yang lebih besar malah semakin
ekstrim. Bentrokan antar golongan sering terjadi hingga menewaskan banyak
orang. Itu pun terjadi karena sesuatu yang tidak pernah kita tahu akar
permasalahannya. Tetaplah sama polanya, konflik warisan, konflik pribadi yang
mengembang, dan konstruk elit-elit penguasa yang memanfaatkan.
Konflik selalu menjadi topik hangat di sekitar
kita. Setiap hari media selalu menyuguhkan gambar-gambar mengerikan yang selalu
membuat masyarakat awam bergidik ngeri. Ketika konflik itu terus menerus
menjadi konsumsi, bukan tidak mustahil atau malah sudah menginvasi tiap-tiap
individu hingga tertanam kuat dalam otak dan menjadi watak.
Media berkembang dan terus menerus
mengkonstruk opini publik. Masyarakat pun semakin mudah terkonstruk lewat
media. Yang notabene masih menjadi alat penguasa untuk melegitimasi kekuasaan.
Akhirnya media cenderung lebih bersifat politis individualis. Entah itu dari
ego diri pemilik modal, penguasa, atau malah kelompok yang tidak punya visi
kerakyatan.
Padahal kelompok masyarakat seharusnya
membangun relasi sosial mereka bukan berdasarkan persamaan fisik atau
materialistik. Goenawan Mohamad dalam sebuah Catatan Pinggir mengemukakan,
“Harapan untuk membentuk “kita” akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena
kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir
ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit etis.”
Tidakkah ada sebuah cara untuk menjadi “kita”?
tidakkah kita merasa kebebasan dalam sebuah kelompok kecil yang membangun dunia
pikir dan visi kita telah kita rasakan dalam sebuah komunitas? Kemudian, apakah
relasi-relasi itu selalu menjebak dan memanfaatkan kita?
Saya selalu ingin mengunjungi taman-taman.
Tempat setiap orang bisa menarik nafas tanpa polusi, tanpa iklan.
Komunitas-komunitas berkumpul, berkegiatan. Orang-orang di sekitar menunjukkan
rasa penasaran, dan tanpa canggung bisa tertawa dan saling menyapa. Setiap
langkah yang saya habiskan, saya akan mengenal lebih banyak orang. Menjadi
bagian dari mereka. Dari tempat itu. Orang-orang dan komunitas-komunitas itu
pun selalu membuka diri. Mengajak melalui sebuah relasi yang pertama sekali
pernah dilakukan ketika manusia lahir di dunia. Mengenal dan belajar.
Public
sphere itu akan menjadi titik tolak relasi antar
manusia. Di dunia modern, dengan teknologi komunikasi yang mendekatkan setiap
manusia. Menggerus jarak dan saling mengenalkan diri. Kemudian, menolak
keterjebakan dengan saling berjejaring. Memasifkannya lewat media. Menjadi
alternatif pendidikan bagi masyarakat. Bukan tidak mungkin bisa meminggirkan
media yang selama ini telah menggiring opini publik.
Bukankah dengan kita saling mengenal, setiap
masalah akan bisa dirundingkan? Komunitas selalu menjadi wahana, tempat kita
mengolah pandangan. Mengolah rasa simpati dan empati. Menemukan orang-orang
yang menjunjung tinggi kejujuran, militan, pantang menyerah, kreatif, dan
sifat-sifat lainnya yang lebih menarik. Dan media dan teknologi bisa lebih mendekatkan
kita.
Saya selalu merasa aman dalam sebuah
komunitas. Di sini lah tempat kita menemukan kebebasan, menemukan kawan, dan punya
relasi tulus tanpa ada sedikitpun kepentingan materi. Bahkan dalam komunitas,
saya seakan bisa menemukan makna lebih dari hanya sekedar bahasa. Ketika
mengenal menjadi cara kita berelasi, proses belajar akan menjadi kunci untuk
menggali makna-makna kehidupan. Itulah menjadi kita, itulah ke-universal-an.
Konflik tidak akan pernah kita hindari. Meski di dalam komunitas sekalipun. Karena terkadang konflik juga adalah cara kita saling bicara. Kembali memetik Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Percakapan, “Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada – tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat – tapi kita tetap saja saling bicara.”
Komentar
Posting Komentar