Langsung ke konten utama

Gitar, Raket, dan Leri

Pertanda apa ini? ketika tiga kali secara beruntun, aku diingatkan dengan sang mantan. Lewat benda-benda yang menyimpan kesan sosoknya. Raket, gitar, dan leri (air cucian beras). Untung saja kenangan itu muncul tidak dengan rasa sesak. Entahlah, yang jelas bibirku menyimpul mengingat kilasan gambaran masa lalu itu.

Kemarin malam, awal dimulai kilasan kenangan itu. Meski sebelum-sebelumnya, gitar yang dia beri sebagai kado ulang tahunku itu, telah membuatku kebal tentang kenangan. Lagi-lagi dengan seorang kawan yang biasa membicarakan tentang segala hal. Lewat topik yang sangat sederhana, cerita keseharian. Jika kalian tidak pernah menemukan relasi seperti ini, antara aku dan kawanku itu, jangan membayangkan yang tidak-tidak. Memang sedikit agak aneh. Dua orang lelaki berbicara tentang aktivitas keseharian. Ah janganlah dibayangkan. Aku terpaksa menulis ini hanya untuk menunjukkan betapa kami terbuka satu sama lain. Itu saja. Bukan berarti ada relasi khusus di antara kami. Kami normal.

Kembali ke topik. Jadi kemarin malam, dia cerita tentang adiknya yang jadi atlet badminton. Dia dan adik sepupunya tepatnya, punya kesibukan baru, latihan badminton di gor. Hanya saja yang membuatku keselek kemudian adalah ketika dia mengajakku ikut latihan.

“Ah, aku nggak punya raket,” jawabku.
“Ayolah, raket kan cuma berapa harganya,” deg. Saat itu kilasan itu muncul. Aku sejenak terdiam.
“Duh, aku jadi ingat mantanku,” kataku kemudian.
“Kok bisa?” tanyanya.

Kemudian, aku ceritakan panjang lebar tantang raketku yang ada di tempat sang mantan. Aku cerita juga ketika si dia mengajakku membeli raket, kemudian waktu-waktu dan tempat-tempat yang selalu kami gunakan untuk bermain badminton. Kawanku itu pun, yang aku agak jengah, seperti merasa bersimpati. Padahal, jujur, aku tidak merasa sedih. Serius. Dan ceritaku menjadi angin lalu. Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Malam pun tetap berjalan dengan obrolan kami tentang topik-topik lainnya.

Kilasan selanjutnya muncul, ketika aku bersepeda di jalan dekat dengan kosnya. Tiba-tiba aku berpikir, ‘Andai aku ketemu dia.’ Selang beberapa meter mataku menangkap sosok yang tidak asing sedang berjalan berlawanan arah denganku. Wajahnya tertunduk, namun aku masih bisa menangkap matanya yang sayu, dan bibirnya yang mungil, yang pernah membuatku jatuh hati. tiba-tiba angin panas meniup dada dan bahuku. Matakupun aku arahkan ke depan, pura-pura tidak mengenalinya. Untung saja dia tidak melihatku. ‘Aduh apa ini maksudMu,’ tanyaku dalam hati pada tuhan.

Kilasan terkahir sebelum tulisan ini aku buat, ketika tadi aku berada di warung kopi. Lagi-lagi aku bertemu tak sengaja dengan kawanku itu. Aku memesan susu jahe anget.

“Itu leri?” tanyanya.
“Ah, bukan. Ini susu jahe anget,” jawabku.
“Aku kira leri,” sangkanya dengan wajah polos tak berdosa.
“Nah, kan lagi-lagi kamu mengingatkanku,” kataku.
“Apa?” tanyanya.
“Hemm, kamu tahukan nama panggung si dia?”
“Oh, iya,” katanya sambil menepuk jidatnya.

Aku pun merasa ada sesuatu yang aneh. Seakan aku diingatkan tentangnya lewat pertanda-pertanda yang muncul beruntun. Apa aku hanya sok melankolis? Apa ini hanya kejadian biasa? Ah benda-benda itu.

Aku pikir hanya aku yang tahu tentang pertanda-pertanda itu. Simbol-simbol yang hanya aku saja bisa membacanya. Bagi orang lain raket, gitar, dan leri adalah benda-benda biasa. Tidak ada sesuatu di baliknya. Kecuali memang setiap benda itu pernah mewakili suatu peristiwa yang berkesan.

Kesan atau perasaan yang timbul dari sebuah peristiwa tentunya akan lebih mudah diingat. Orang akan mengingat suatu pagi ketika saat dia makan bubur ternyata ada kecoa di dalamnya. Mungkin dia tidak akan makan bubur lagi. Atau dia akan mengingat kecoa ketika melihat bubur. Atau dia akan mengingat orang yang membuat bubur ketika melihat kecoa. Atau juga dia akan mengingat kecoa saat melihat orang yang membuat bubur. Kemungkinan-kemungkinan itu pasti ada.

Sampai sini aku tidak bisa melihat lebih jauh lagi. Tentang pertanyaanku kepada tuhan. Apakah ini suatu pertanda tentang sesuatu? Atau aku hanya bisa mengambil pembelajaran dari munculnya benda-benda itu saja. Setidaknya aku bisa melihat dari apa yang nampak. Tuhan memberikan pertanda agar aku harus kembali menjalin silaturahmi. Itu bisa jadi. Atau mungkin aku sedang diajari tuhan tentang cara membaca simbol-simbol. Itu juga bisa jadi. Asalkan saja aku tidak menebak-nebak dengan mendengarkan perasaanku. Itu yang akan membuatku sakit.


Kemudian kesimpulanku mengembang. Tentang bagaimana aku bisa melihat fenomena yang lebih besar di dalam masyarakat. Budaya Jawa atau daerah lainnya penuh dengan simbol-simbol. Setiap orang di dalamnya juga pasti mengikuti manifestasi simbol-simbol itu. Keris, pusaka orang Jawa yang berliku menunjukkan keluwesan dan kelemah lembutan orang-orang Jawa. Celurit, pusaka orang Madura, identik dengan alat kerja, menunjukkan tipikal masyarakat yang suka bekerja keras. Simbol-simbol itu bermacam-macam. Bisa berbentuk tulisan tangan, bentuk tubuh, bentuk wajah, yang akan menunjukkan watak khas dari seseorang.

Aku harus berterima kasih dan bersyukur kepada tuhan. Karena aku tidak terjebak dalam perasaanku gara-gara cobaanNya dari simbol-simbol yang secara beruntun datang menghampiriku. Gitar, raket, dan leri tidak menjadi pisau yang menyayat hati, tapi rangkaian kenangan itu malah mengajariku cara lain untuk membaca. Terima kasih juga sang mantan. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.