Kembali aku ingin menuliskan sebuah ironi. Tiba-tiba beberapa saat lalu aku terdiam, mataku terpaku pada sebuah gundukan tanah setinggi 13 meter berselimut pepohonan dan semak, gumuk. Entah apa hubungannya semua itu, mulai dari aku terdiam, melamun, dan akhirnya berpikir antara mempertahankan demokrasi dan kebaikan. Jelasnya tiba-tiba saja pikiran itu muncul.
Fakultas hukum, belum lama ini mengadakan pemilihan dekan. Dari jumlah senat yang memilih dua calon terbagi menjadi dua suara yang hampir sama, 11 pada calon pertama dan 10 pada calon kedua. Namun rektor menetapkan 10 suara yang menjadi dekan. Hal ini pun menurut rektor tidak lepas dari beberapa pertimbangan. Pertama karena dekan terpilih mempunyai tingkat akademik yang lebih tinggi, dan jumlah suara tersebut itu masih dianggap tidak begitu signifikan perbedaannya.
Dari situlah timbul sebuah pertanyaan apakah memang demokrasi itu diambil dari suara terbanyak?
Pastinya semua sudah ada persyaratan ketika sudah pada tahapan pemilihan suara. Tentunnya juga para pemilih sudah melewati fit and proper test. Pikiranku lebih ingin bersikap positif thinking. Karena mungkin negera ini juga berdiri karena menggunakan pikiran-pikiran positif. Positif ketika melihat persatuan setiap warga, potif melihat keinginan rakyat, positif akan mampu berdiri sendiri, positif orang-orang yang menduduki pemerintahan adalah orang baik. Semua bersikap positif pada awalnya.
Kemudian kelanjutannya tidak ada yang akan pernah tahu. Hukum selalu menegaskan asas tidak bersalah. Dasar-dasar hukum pun ada pada hukum positif. Aku semakin bingung. Apa sesederhana itu? Ketika dalam melihat sesuatu harus terpaku pada pikiran-pikiran positif tentunya tidak akan ada dinamika yang terjadi. Bagaimana dengan teori pemikiran dari berbagai ahli yang selalu kritis membaca segala dinamika sosial.
Biarlah ini menjadi pertanyaan.....
Fakultas hukum, belum lama ini mengadakan pemilihan dekan. Dari jumlah senat yang memilih dua calon terbagi menjadi dua suara yang hampir sama, 11 pada calon pertama dan 10 pada calon kedua. Namun rektor menetapkan 10 suara yang menjadi dekan. Hal ini pun menurut rektor tidak lepas dari beberapa pertimbangan. Pertama karena dekan terpilih mempunyai tingkat akademik yang lebih tinggi, dan jumlah suara tersebut itu masih dianggap tidak begitu signifikan perbedaannya.
Dari situlah timbul sebuah pertanyaan apakah memang demokrasi itu diambil dari suara terbanyak?
Pastinya semua sudah ada persyaratan ketika sudah pada tahapan pemilihan suara. Tentunnya juga para pemilih sudah melewati fit and proper test. Pikiranku lebih ingin bersikap positif thinking. Karena mungkin negera ini juga berdiri karena menggunakan pikiran-pikiran positif. Positif ketika melihat persatuan setiap warga, potif melihat keinginan rakyat, positif akan mampu berdiri sendiri, positif orang-orang yang menduduki pemerintahan adalah orang baik. Semua bersikap positif pada awalnya.
Kemudian kelanjutannya tidak ada yang akan pernah tahu. Hukum selalu menegaskan asas tidak bersalah. Dasar-dasar hukum pun ada pada hukum positif. Aku semakin bingung. Apa sesederhana itu? Ketika dalam melihat sesuatu harus terpaku pada pikiran-pikiran positif tentunya tidak akan ada dinamika yang terjadi. Bagaimana dengan teori pemikiran dari berbagai ahli yang selalu kritis membaca segala dinamika sosial.
Biarlah ini menjadi pertanyaan.....
Dari situlah timbul sebuah pertanyaan apakah memang demokrasi itu diambil dari suara terbanyak? <- kata ini harus dicari dikamus.
BalasHapusoyi, demokrasi secara kontekstual
Hapus