Langsung ke konten utama

Bukan Pertama Mengenal Pagi

Hari ini ada bersitan kuat dalam kepala untuk segera mengubah diri. Bangun setengah lima pagi. Mandi. Solat subuh. Menyiapkan sepatu, dan lari. 

Aku merasakan kakiku sangat ringan. Dengan jaket dan celana pendek, langkah kakiku kupercepat. Namun aku masih malas untuk mendengar hiruk pikuk yang ada di sekitar. Aku pasang headset ke telinga. Kudengarkan radio pagi dengan isi acara yang tanpa banyak pilihan. Berita AS, kuliah subuh, dan lagu religi.

Berkali-kali aku pindah saluran radio, tetap tiga jenis acara itu yang terdengar. Akhirnya aku pilih saluran berita dari VOA. Khas berita yang menggemakan nama Amerika, teroris, dan kekuasaan Amerika di Asia.

Kejengkelanku itu malah mendorongku untuk terus lari. Satu blok aku lewati, kemudian belok ke selatan menuju pasar Baru di jalan Gubernur Suryo Lumajang. Aku tetap memilih jalur lurus sampai satu blok kemudian aku belok kanan.

Asap kendaraan sangat terasa. Padahal kendaraan pagi itu masih sedikit. Kontras sekali dengan di siang hari seperti biasanya. Tapi tak aku hiraukan. Aku pikir udara pagi masih terlalu bersih dari cemaran dua atau tiga kendaraan.

Aku heran sendiri, kenapa aku belum nampak lelah. Padahal, sudah satu kilo aku berlari. Lagi-lagi aku merasakan keanehan di pagi ini. Tapi aku tetap melanjutkan berlari. Arah pertama ke GOR Wirabhakti di jantung kota Lumajang.

Sampai di sana, aku belum merasa lelah. Aku mulai melakukan peregangan. Push up, sit up, dan back up. Gerakan itu sederhana, tapi butuh menghalau rasa malas yang luar biasa. Kemalasan itulah yang membuat beban tubuh berkali lipat beratnya.

Sepuluh menit kemudian, aku kembali berlari. Di pojok bagian timur Gor aku lihat sebuah alat pull up. Waktu aku dekati ada seorang laki-laki sekitar 28 tahun mengajak dua anak kecil. Dibopongnya salah satunya kemudian dipegangkan ke alat pull up itu.

Jelas aku tidak mau mengganggu. Aku berubah pikiran dan meneruskan lari mengitari Gor. Sekitar duapuluh paruh baya dari golongan tionghoa sedang senam di depanku. Aku merasa sedikit mendapatkan pehatian mereka. Tidak aku hiraukan. Aku teruskan mengitari Gor itu.

Di titik dekat alat pull up untuk yang kedua kalinya itu aku berhenti. Dua anak kecil dan satu orang laki-laki tadi sudah menjauh. Aku mulai menggunakan alat itu. Berat. Saat aku angkat tubuhku, tiba-tiba dadaku sesak. Mataku berkunang-kunang. Aku tidak memaksakan diri. Aku turun, kemudian menurunkan kepalaku dalam posisi seperti rukuk. 

Mungkin saat aku naik pull up itu, darahku tidak ikut naik. Hingga aliran darah di otak sedikit tehambat. Aku merasakan nafasku juga terengah-engah.

Dalam posisi rukuk itu, aku dapatkan kembali keseimbangan tubuhku. Aku ulangi lagi pull up. Hanya saja, dua anak tadi begitu melihatku langsung mendekat dan ingin ikut bermain dan bergelayutan. Aku mengalah dan melanjutkan lariku kembali pulang. 

Dari Gor aku mau langsung pulang dan istirahat. Tapi ada sedikit lagi dorongan untuk lebih lama lagi berkenalan dengan pagi. Karena catatan setiap hariku, selalu melewatkan pagi. Itulah keajaiban yang sebenarnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.