Langsung ke konten utama

Kelas Menulis Jurnalistik #3 Tahapan Awal Masuk Dunia Jurnalistik: Intensitas Menulis

Belajar jurnalistik harusnya memang selalu terus menulis. Apapun tulisannya, apalagi diawal. Biar saja orang membaca dan komentar jelek terhadap tulisan kita. Yang terpenting setiap hari terus menerus menulis. Sekalipun jangan pernah berhenti.

Ya, tahapan yang ketiga adalah kontinuitas. Pasang target setiap hari berapa tulisan yang harus dihasilkan. Selain itu juga jumlah kata atau karakter juga harus ditentukan batas minimalnya. Dari kebiasaan itu nantinya kita akan terolah untuk menulis apapun meski mungkin hanya sekelebatan ide muncul.

Nah, manfaatnya nanti kita akan terus bisa mengembangkan meskipun ide yang kita dapatkan hanya sependik satu ungkapan saja. Yang terpenting memang harus terus menulis dan menulis. Untuk awal tidak usah khawatir ketika di dalam tulisan terlalu banyak pengulangan.

Kuantitas menulis itu dengan sendirinya akan membuat kita juga terbiasa untuk membuat pola-pola dalam tulisan kita. Kita akan mulai melihat struktur tulisan kita. Apakah deduktif, induktif, gabungan, atay jenis pola apapun.

Biasanya pola tulisan kita akan mengikuti struktur pemikiran kita sendiri. Namun, untuk konteks struktur tulisan akan kita bahas di kelas menulis selanjutnya. Kali ini, saya hanya mencoba sharing motivasi untuk tetap kontinyu dalam menulis.

Kuantitas menulis itu akan terjaga dengan baik jika kita punya semangat yang kuat untuk menjaga intensitas tersebut. Seperti yang saya katakan pertama tadi, pasang target. Itu haling mudah untuk dilakukan. Atau carilah teman dalam menjaga kuantitas menulis. Selain menjaga intensitas tulisan, teman itu juga yang bisa kita ajak untuk mengevaluasi tulisan-tulisan kita nanti.

Ada kalanya orang belajar dengan cepat untuk meningkatkan kualitas tulisannya. Ada kalanya juga orang begitu lambat berkembang, dan cenderung stagnan. Sebenarnya menurut saya secara pribadi tergantung kemauan dari diri kita masing-masing untuk menelaah tulisan-tulisan kita.

Parameternya mudah saja. Pertama seberapa enak dibaca. Kalau tulisan masih kurang mengenakkan dibaca atau kata-katanya sangat sulit dipahami, berati tulisan kita masih belum layak. Kedua seberapa sederhana tulisan kita untuk memberikan penjelasan kepada pembaca. Biasanya semakin sederhana tulisan, maka bisa dikatakn tulisan orang itu juga bagus. Ketiga, Runtut dan tidak mengulang-ulang pemabahasan.

Parameter itu sebenarnya sudah bisa kita pahami dari cara kita berkomunikasi lewat lisan. Persis, coba lihat pola yang digunakan oleh teman-teman kita yang berbicara dengan orang lain tanpa kesulitan. Kata-katanya sederhana dari menjelaskan hal yang paling sulit pun.

Dari intensitas menulis juga kita akan sedikit demi sedikit memahami struktur tulisan kita. So, ayo menulis. Kebenaran ada di tanganmu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.