Langsung ke konten utama

Politik (Uang) dalam Keluarga

Keluarga telah menjadi basis politik paling sempit dalam konstalasi politik negara. Hal ini disebabkan oleh kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat timur. Hingga akhirnya sebuah prisnip sering kali dikalahkan oleh kesungkanan atas dasar menjaga hubungan keluarga. Banyak orang lebih menjaga kerukunan keluarga dari pada menciptakan permusuhan karena alasan politik negara. Apalagi persinggungannya dengan kehidupan keluarga sehari-hari sangat jauh. Karena sebanarnya prilaku politik itu berdasarkan kepentingan ekonomi. Bukan perjuangan menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemikiran ini seketika mengemuka ketika salah seorang teman bercerita lewat sebuah tulisannya. Dia merasa muak karena telah merasa terbelenggu dalam keluarganya. Dia menganggap hanya menjadi obyek dari kesalahan tafsir orang-orang yang memegang erat budaya keluarganya. Budaya arab yang sangat membatasi anak-anak perempuannya. Batas itu baru dia rasakan sekarang, saat dia telah selesai memupuk idealisme dalam lingkungan aktivis pergerakan. Secara perlahan pun saya merasa, dia akan mulai dibutakan dengan kenyamanan-kenyamanan semu dalam sangkar emasnya. Yang pada akhirnya nanti akan hanyut oleh arus belenggu orang tua.

Dalam suratnya dia bercerita adanya politik uang dalam keluarganya sendiri. Dia melihat secara kasat mata sesuatu yang sebelumnya hanya menjadi wacana makian kebenciannya. Kemuakannya membuncah seketika. Dia menghadapi ironi besar. Idealismenya ditantang seketika itu. Hatinya menuntut nuraninya untuk berteriak lantang. Namun dia pun menyerah tanpa perlawanan. Dia lebih mencintai kerukunan dari pada harus menolak uang sebesar 50 ribu, kemudian terjadi perselisihan, dan permusuhan.

Dalam surat itu terasa sekali emosi yang tersimpan di balik kata-katanya, "Kejadian-kejadian seperti ini sudah sering terjadi di rumah, aku yang tinngal di kampung arab, hampir semua orang-orang yanga da di kampung arab masih keluarga dekat. Saling berhubungan satu sama lain, jadi biaa ada amplop beredar semua akan sama rata. Hahaha.. ini membuataku benar-benar ingin keluar dari rumah ini. Bukan sok idealis, hanya benar-benar tak nyaman. Apakah tidak pernah aku obrolkan?? Sudah, bahkan sering. Tapi apa daya, kau tau bagaimana posisi wanita di rumah bagi kami keturunan arab?? Haha..sudahlah itu cerita lain. Yang pasti aku benar-benar ingin keluar dari ruamh ini. Dan membuktikan, aku memang wanita arab. Tapi aku juga manusia biasa, ayolah apa yang spesial."
 
Sebuah prinsip yang kemudian dikebiri oleh tancapan sebuah nilai. Nilai itu diajarkan mulai dari kecil dan sangat kokoh bercokol di dalam kepala. Hingga menjadi sebuah kebenaran yang tak mungkin bisa digugat. Kebenaran mutlak karena keluarga telah menjadi penolong saat setiap manusia lahir ke dunia. Kita akan durhaka ketika hanya sedikit saja mencela. Keluarga adalah sumber dari cinta, kasih sayang, dan kerinduan.

Dari kacamata ini sungguh sangat sulit mencoba untuk sedikit berjarak. Melihat dengan mata terbuka apa yang sebenarnya benar, atau salah. Mana yang nantinya akan membuat mata setiap orang dalam jalinan darah ini mampu menerima sebuah kenyataan, bahwa setiap manusia merdeka dalam prinsip, merdeka dalam keyakinan, dan merdeka dalam pilihan.

Orang tua atau budaya dalam keluarga selalu punya jawaban atas apa yang kita resahkan. Orang tua menjadi pemangku dan penguasa atas setiap keputusan. Orang tua juga selalu mempunyai kepastian atas setiap kehidupan anaknya. Padahal sebagai anak kita dituntut untuk belajar. Sebuah proses yang nantinya akan menjadikan seorang anak menjadi manusia yang diharapkan oleh keluarga.

Setidaknya dari sini kita sudah bisa melihat dua hal yang bertentangan. Di salah satu sisi budaya dalam keluarga telah menafikan proses belajar dari anak, sedangkan di satu sisi lainnya anak diharuskan untuk terus belajar tentang kehidupan. Akhirnya saya pun melihat, bahwa ternyata ada dua orientasi yang diberlakukan dalam kehidupan berkeluarga, yaitu orientasi hasil, dan orientasi proses.

Kehidupan manusia seharusnya selalu dinamis, bukan statis. Budaya hanyalah sebuah kebiasaan yang seharusnya selalu dievaluasi. Jaman dan kondisi sosial berkembang pada taraf yang inklusif, kita tidak bisa menjadi bangsa yang eksklusif memegang keyakinan pada kejayaan semu bangsa kita.

Saya pikir semua itu saling terkait satu sama lain. Konteks politik dalam keluarga akan lebih bermakna jika dipahami dengan pandangan yang lebih jauh pada konteks kenegaraan. Bukan pada sebuah aspek kepentingan ekonomi. Hingga akhirnya dalam kepala setiap keluarga akan terbentuk sebuah dunia ideal. Dunia yang akan menjadi tujuan perjuangan dalam hidupnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Orang Biasa

Dua minggu ini banyak hal yang menjadi perhatian saya. Banyak pelajaran juga yang saya dapat dari berbagai macam hal tersebut. Mulai dari pekerjaan, keluarga, dan asmara. Ditambah lagi bagaimana cara pandang saya terhadap sosial masyarakat di sekitar saya. Oh ya satu lagi, saya juga merasa ada keberjarakan antara saya dan tuhan. Saya benar-benar merasa menjadi manusia biasa. Saya pikir saya adalah orang yang sentimentil. Saya tidak bisa berfokus pada satu hal. Semuanya sepertinya terus memasuki pikiran saya silih berganti. Kadang-kadang juga berbarengan. Apalagi ketika pada kondisi dimana saya berhenti dan memikirkan hal itu semua. Sebenarnya langkah demi langkah sudah saya pastikan untuk berjalan. Hanya saja, sama sekali progress reportnya sering kali tertinggal. Bahkan hilang. Padahal, ingatan itu harusnya terus bisa mengisi puzzel-puzzel kehidupan saya. Sehingga saya bisa dikatakan mampu belajar dari pengalaman. Kemampuan belajar yang saya miliki ternyata tidak bisa sa...