Langsung ke konten utama

Bukan Senyum Konotatif

Hari ini aku identikkan senyuman dengan tingkat kebahagiaan seseorang. Entahlah hal itu muncul begitu saja, saat mata ini mulai terbuka di jelang siang ini. Saat matahari sudah bergeser dari timur, sejarak dua anak panah.

Satu, dua, dan tiga hari lalu, senyum itu terperangkap pada bentuk absurd. Lengkung bibirku tak kurasakan buah manisnya. Lengkungnya hanya nampak bagus di permukaan. Sedangkan rasanya semakin kecut. Seperti buah blimbing yang tidak pernah kusuka.

Menjadi hal yang klise tentunya, semuanya, hanya sedikit pengecualian dari sudut pandang waktu dan subyek. Segala macam perasaan sudah menjadi memori kolektif dari setiap apa yang ditangkap oleh manusia. Karena, meski tidak berikatan secara fisik, aku yakini manusia punya semacam penghubung seperti halnya lebah pekerja yang membuat sarangnya tanpa pernah melakukan pendidikan di bangku sekolah.

Dari sini aku coba mencari jawaban dari apa yang sudah dirasakan dari orang lain. Tanpa perantara fisik, tanpa perantara kata dan bunyi. Ataupun perantara dari observasi mata.

Aku berjongkok, kuikuti semua gerak naluriah hewaniku untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh tubuh biologisku. Dorongan-dorongan kecil coba aku rasakan dengan tanpa mencoba memahami apa yang diinginkan oleh pikiranku. Sulit. Satu, dua, tiga detik pikiranku selalu mengacaukan konsentrasiku dengan persepsi-persepsi yang terbangun tanpa sadar.

 

Terbersit sesuatu dalam pikiran.'Cara paling ampuh untuk konsentrasi adalah dengan tidak berpikir untuk konsentrasi,' entah itu siapa yang pernah mengatakanya. Jadi aku ikuti saja semua arah pikiran. Gambar-gambar tak jelas muncul dan  tenggelam dalam otak ini. Anehnya dada ini juga mengikuti pola timbul-tenggelamnya gambar-gambar itu. Tetap aku ikuti.
Lima menit berlalu. Tidak terjadi perubahan, hanya kelegaan biologisku. Selang beberapa waktu itu terpampang dengan begitu jelas raut mukaku. Padahal tidak ada cermin.

Senyumku tiba-tiba mengembang, diikuti rasa manis di dalamnya. Bahkan meledak menjadi tawa. Menertawai diriku sendiri. Bukan tawa konotatif. Senyum dan tawa dalam arti sebenarnya. Akhirnya, aku pun menganggap penilaianku terhadap senyum dan bahagia masih sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Orang Biasa

Dua minggu ini banyak hal yang menjadi perhatian saya. Banyak pelajaran juga yang saya dapat dari berbagai macam hal tersebut. Mulai dari pekerjaan, keluarga, dan asmara. Ditambah lagi bagaimana cara pandang saya terhadap sosial masyarakat di sekitar saya. Oh ya satu lagi, saya juga merasa ada keberjarakan antara saya dan tuhan. Saya benar-benar merasa menjadi manusia biasa. Saya pikir saya adalah orang yang sentimentil. Saya tidak bisa berfokus pada satu hal. Semuanya sepertinya terus memasuki pikiran saya silih berganti. Kadang-kadang juga berbarengan. Apalagi ketika pada kondisi dimana saya berhenti dan memikirkan hal itu semua. Sebenarnya langkah demi langkah sudah saya pastikan untuk berjalan. Hanya saja, sama sekali progress reportnya sering kali tertinggal. Bahkan hilang. Padahal, ingatan itu harusnya terus bisa mengisi puzzel-puzzel kehidupan saya. Sehingga saya bisa dikatakan mampu belajar dari pengalaman. Kemampuan belajar yang saya miliki ternyata tidak bisa sa...