Langsung ke konten utama

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat.

Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya.

Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum biaya yang akan kami keluarkan bisa sampai 400 ribu. Sedangkan, untuk mobil mungkin hanya 200 ribu. Untunglah ada teman yang bisa meminjamkan mobilnya. Kemarin malam kami berangkat. Cerita itu dimulai dari sini.

Senyum masih merekah dari mulutku. Dalam mobil itu ada empat orang. Aku, teman yang supir, dan dua teman dari Bondowoso si empunya mobil. Mereka ikut mobil karena memang ada acara ke Surabaya. Aku semakin senang, karena anggaran untuk bensin bisa dipotong setengahnya.

Apalagi sore ini cuaca sangat cerah. Tidak ada sedikitpun halangan dalam perjalanan ini. Lalu lintas juga tidak begitu padat. Kami berangkat jam lima sore. Dibantu dengan GPS, kami sampai di mantan kosan Riko (kakak teman yang menghibahkan barang) jam 11 malam.

Tidak sulit menemukan tempatnya, karena GPS sekarang sudah sangat detail dengan kekeliruan berkisar 100 meter saja. Saya menghubungi pak Sur, orang yang diberi kuasa dari Riko untuk mengurus barang-barang itu. Tidak lama, dia pun datang dengan salah satu temannya.

“Sebentar mas, biar nggak salah paham kita duduk dulu,” kata teman pak Sur. Orangnya masih muda umur 30an tahun, dengan muka dan wajah bulat, gemuk. Kemudian aku ditanya-tanyai apa hubunganku dengan Riko.

“Aku disuruh ngambil barang mas. TV, kipas angin, sama galon. Aku kenal Riko dari Nita. Nita itu sepupunya Riko,” aku menjawab sesuai dengan apa yang aku tahu. Aku memang sama sekali tidak tahu tentang Riko. Aku pikir barang itu bisa aku ambil dengan mudah. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Riko, kecuali lewat Nita.

“Begini lho mas, sampean kan hanya disuruh ngambil barang sama Riko ya,” dia nampaknya mulai membuka masalah yang tersembunyi.

“Gini lho mas, Riko itu ninggal barang di kosan tiga bulan yang lalu. Sedangkan sampean tahu kalau gunakan kamar itu kan harus bayar. Nah aku sama pak Sur ini urunan biayai buat barangnya Riko. Arek iku memang nggak beres mas. Jadi barang ini tidak bisa dibawa kalau Riko tidak bayar,” jelasnya.

“Berapa pak?” tanyaku.
“Dia sudah nggak di sini itu mulai bulan Juni. Ya sekitar 750 ribu mas,” jawabnya.
“Yaudah mas, diselesaikan dulu urusannya sama mas Riko. Saya soalnya nggak tahu apa-apa,” kataku.
“Coba samean hubungi dulu Riko. Kasihan sampean sudah jauh-jauh ke sini,” katanya. Kemudian aku menghubungi Nita, karena aku nggak tahu nomor kontak Riko. Aku memang tidak pernah langsung berhubungan dengan Riko. Nita aku hubungi. Tidak diangkat. Kemudian aku sms dia.

“Nggak bisa dihubungi mas,” kataku sama pak Sur dan temannya.
“Memang dia itu nggak beres mas. Dia pasti nggak berani,” katanya dan akupun juga membenarkan apa yang dia katakan. Tapi sebenarnya aku masih punya keyakinan kalau sebenarnya pak Sur dan temannya itu memanfaatkan keadaan itu.

Kami berempat pun melanjutkan perjalanan. Kami menginap di rumah mertua teman saya di Sidoarjo. Nita membalas sms. Aku ceritakan apa yang terjadi barusan. Kemudian setelah kami sampai, aku ditelpon Riko. Dia minta diceritakan apa yang terjadi. Dia agak nggak percaya dengan pak Sur, dan merasa curiga dengan pak Sur.

Entahlah aku masih berpikir bahwa pak Sur lah yang memanfaatkan keadaan. Dia bilang kalau sudah tiga bulan Riko tidak membayar, sedangkan ketika aku tanya dimana barangnya, ternyata sudah ada di kamarnya pak Sur dan temannya.

“Yaudah mas, diselesaikan dulu masalahnya dengan pak Sur. Aku nggak berani kalau memang masih ada masalah,” kataku pada Riko.
“Iya mas, maaf sekali. Besok tak selesaikan. Sampean jangan pulang dulu ya. Kasihan udah jauh-jauh dari Jember,” katanya.

Wajahku terlihata berubah kata teman-teman. Kami pun menuju warung kopi. Meski sudah jam 12 malam. Di warung kopi kami memabahas tentang kecurangan-kecurangan yang masing-masing telah kami alami. Mulai dari kecurangan kecil sampai pada kecurangan yang menghabiskan sampai puluhan juta rupiah. Lain kali mungkin akan aku ceritakan kecurangan-kecurangan apa saja yang pernah terjadi. Ngopi malam itu membuatku harus sangat berhati-hati. Apalagi Macapat semakin hari semakin seatle. Meski tidak biasa tidur jam-jam tengah malam, namun kejadian malam itu membuatku harus memaksa tidur.

Pagi di sidoarjo ternyat begitu dingin. Jam 7 sepertinya memang sangat tidak bersahabat dengan mata ini. Tapi ini di tempat orang. Kami pun bangun, kemudian menemui si pemilik rumah. Obrolan pagi itu sampai jam 8 pagi, setelah itu kami pergi ke tempat acara temanku yang dari Bondowoso. Jalanan Surabaya memang tidak pernah bersahabat. Kepadatan lalulintas dan jalur yang sulit sekali membuat kami mutar-muter selama hampir dua jam. Kami berada di dinas kebudayaan dan pariwisata Jawa Timur.

Dua orang teman pergi ke dalam gedung, sedangkan aku dan teman yang jadi supir ngobrol di kantin kantor dinas. Banyak sekali obrolan-obrolan, tapi dalam tulisan ini tidak aku ceritakan. Dua jam kami menanti teman kami. Tepat jam 12 mereka keluar dari kantor membawa dua kotak makan siang. Kotak itu diberikan kami berdua, mungkin mereka merasa kasian melihat kami menunggu dua jam yang panas. Sedangkan mereka memesan makanan di kampus.

Di tengah obrolan kami, aku dihubungi Nita. Dia bilang barangnya sudah bisa diambil. Dadaku sedikit lega mendengar itu. Kemudian teman yang dari Bondowoso menyarakan mengkonfirmasi ke pak Sur. Aku telpon dia. Dia bilang barangnya sudah bisa diambil, dan urusannya dengan Riko sudah selesai. Tapi aku harus menunggu lagi sampai habis isya’. Aku bilang ke teman-teman. Ya, akhirnya aku harus menunggu sampai habis isya’ dengan suasana hati yang sudah mereda.

Salah satu teman yang dari Bodowoso harus pulang lebih dulu. Kami mengantarnya ke terminal Bungur Asih. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke hotel Inna Simpang dekat Tunjungan Plaza Surabaya. Teman dari Bondowoso sekaligus yang punya mobil akan mengikuti pelatihan sampai hari minggu. Kami pun menunggu sambil istirahat siang di sana.

Aku pikir keberuntunganku akan berlanjut sampai nanti malam. Setelah malam tiba, aku pamit ke teman saya yang mau pelatihan. Dia ikut mengantar kami ke bawah dari kamar di lantai 6. Rasa-rasanya ada yang kurang, akhirnya kami ngopi sebentar, karena ternyata kami sama sekali tidak merokok di dalam hotel. Karena ada larangan keras merokok di kamar. Obrolan di warung kopi fokus di topik barang-barang yang akan aku ambil.

“Saranku sudah nggak usah. Tinggal aja,” kata teman dari Bondowoso.

Tiba-tiba ada yang nelpon bernama Bagus. Dia Bilang kalau dia teman Riko. Dari nada suaranya dia sangat emosi dengan apa yang terjadi pada kami. Malah dia sempat mengatakan kalau pak Sur tidak baik. Dan kayaknya akan bertemu dengan pak Sur dengan emosi. Dia mengajakku bertemu di tempat yang dekat dengan kosannya Riko. Aku iyakan saja.

Aku cerita ke teman-teman di situ. Aku disarankan menghubungi lagi pak Sur. Kemudian aku hubungi dia.

“Pak Sur, gimana? Apa barangnya sudah bisa saya ambil?” tanyaku via telpon.
“Sebentar mas. Riko bilang mau transfer uang. Tapi sampai sekarang masih belum ditransfer,” katanya.

Dugaan temanku benar. Seketika itu aku pun memutuskan pulanhg ke Jember dengan tangan hampa dan nggondok sejadi-jadinya. Perjalanan ini memang tidak menghasilkan apa-apa. Tapi aku merasa banyak hal yang aku pelajari dari tantangan emosi yang menggumpal di dada. Sulit mencari orang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.