“Lihatlah angin! Jika tak
mampu melihatnya, dengar suaranya! Rasakan dengan kulitmu! Simpan angin itu,
bawa ke mana saja kau akan pergi! Kemudian gunakan angin itu untuk menerbangkan
dirimu ke mana saja kau mau!”
Semua materi di
dunia ini selalu bisa dibuktikan dengan indra. Melihatnya, mendengarkannya,
merasakannya, kemudian menamainya, membentuknya dalam pikiran. Beruntung kita
punya memori yang secara sadar maupun tidak sadar membentuk dunia kita. Mengisi
sedikit demi sedikit dunia, lewat cara pandang masing-masing individu. Yang
bisa berlaku universal dengan berbagai macam kesepakatan di antara manusia.
Proses indrawi itu
sebenarnya adalah proses individu. Masing-masing manusia berbeda dalam
menafsirkannya. Ketika kita melihat sebuah benda, misalnya gelas di depan kita,
kita punya gambaran bebeda-beda. Karena kita tidak pernah sama dalam
melihatnya. Sudut pandang, latar belakang budaya, dan pengalaman selalu saja
membuat kita tak pernah melihat satu hal yang sama. Sebenarnya ini adalah hal
unik dari manusia. Perbedaan yang tidak kita sadari ternyata membuat kita bisa
merasa sama. Sama-sama berbeda dalam melihat dan merasa.
Lebih lanjut
ketika melihat dari sudut pandang masing-masing individu akan memunculkan
keindahan. Sebuah selera yang terbentuk dari proses-proses indrawi yang kita
rasa nyaman sesuai dengan cara kita masing-masing. Keindahan itu memang lebih
bersifat individualis, bukan sebuah kenikmatan yang bisa dirasakan oleh semua
orang.
Keindahan tercipta
dari upaya kita membentuk, menata, dan mengolah. Tidak serta merta kita
merasakan keindahan dari sesuatu yang dianggap orang lain indah. Selalu saja
ada proses melihat, mendengar, merasa, segala macam proses indrawi lainnya yang
menimbulkan sebuah kesan. Yang sebenarnya tercipta dari memori-memori atau
pengalaman.
Kemudian manusia
berhubungan dengan orang lain. Sebuah proses hubungan sosial yang akan
mempertemukan selera-selera masing-masing individu. Timbullah etika. Sebuah
kesepakatan baik itu berupa aturan yang dibentuk bersama, atau hanya sekedar
kebiasaan salah seorang yang kemudian ditiru oleh banyak orang lainnya. Etika
selalu muncul dari hubungan antar manusia. Bentuk dari etika bermacam-macam.
Contoh kecilnya, ketika kita memesan kopi di sebuah warung, kita tidak hanya
disuguhi dengankopinya saja, tapi gelas dan lepeknya, malah ada yang dengan
tutup gelasnya.
Seperti itulah
etika, sebuah kesepakatan dari relasi antar manusia. Etika inilah kemudian yang
akan memberikan kesan “sama” dari setiap selera-selera setiap indvidu. Namun,
pada dasarnya manusialah titik awal sebuah keindahan itu muncul. Dari proses
indrawi sampai pada timbulnya kesan-kesan lainnya.
Seorang anak kecil
yang sedang belajar berjalan, akan mengingatkan kita bagaimana proses itu
seharusnya. Rasa sakit pasti kita rasakan. Jatuh, bangun, kemudian jatuh lagi,
dan bangun lagi. Rasa sakit itu pasti, dan wajar selalu kita rasakan. Bahkan
malah kita sebenarnya sudah terbiasa dengan itu. Rasa sakit bisa menjadi
sesuatu yang kadang kita inginkan.
Tapi ini bukan
tentang rasa sakit, tapi apa sebenarnya yang ada di balik itu. Proses belajar.
Sebuah proses yang selalu membuat kita senang. Karena menginginkan suatu hal.
Sering sekali kita tidak pernah merasa senang dengan apa yang sedang kita
pelajari. Banyak contohnya. Apakah jangan-jangan kita tidak pernah
menginginkannya? Ataukah malah kita tidak tahu apa yang kita inginkan itu?
Sepertinya itu
sudah sering kita rasakan. Ketika belajar di ruang kuliah misalnya. Kita cari
sendiri kenapa kita tidak merasa senang. Karena itu adalah hak dan kewajiban
masing-masing dari kita. Hak kita mendapatkan pendidikan. Dan kewajiban kita
sebagai anak. Apakah ini bagian dari rasa sakit seperti anak kecil yang sedang
belajar berjalan?
Keinginan timbul
dari rasa ingin tahu. Hal yang mendasari setiap keinginan kita belajar. Akhirnya
kita akan mencoba, bereksperimen, kita ingin merasakannya. Meski banyak orang
yang mengatakan “jangan coba-coba,” kita tidak akan hiraukan. Karena memang
pengalaman adalah sesuatu yang sangat berkesan. Mengisi kehidupan kita menjadi
manusia seutuhnya. Merasakan dengan penuh kesadaran dengan semua indra, dan
membentuk sebuah makna yang kita yakini adalah sesuatu yang bernilai.
Merasakan,
berpikir, memaknai, kemudian menghasilkan karya adalah satu bagian proses
belajar. Dan karya itu sendiri adalah bentuk komunikasi kita. Yang
menghubungkan diri kita kita dengan dunia di luar kita. Banyak sekali nilai
yang akan bisa kita bedah di dalam sebuah karya. Ada simbol, ada estetika, dan
etika. Ketiga hal ini secara sadar maupun tidak sadar telah menjadi bagian dari
proses belajar.
Namun sering kali
kita tidak menyadari sebuah ruang yang membangun karya itu. Karena setiap
goresan, setiap kata, atau semua simbol dalam karya itu berasal dari
memori-memori kita. Yang kita sadari hanyalah sebagian kecil kesadaran dari apa
yang pernah tertangkap dalam memori. Padahal sebenarnya otak bekerja melampaui
kesadaran manusia.
Otak manusia hanya
digunakan tiga persen dari total kapasitasnya. Dan tiga persen itu adalah hal
yang kita sadari saja. Selebihnya tertutup oleh kemalasan kita untuk berpikir,
merasa, dan memaknai. Semakain banyak kita mengolah otak
kita, semakin besar kapasitas otak yang akan kita gunakan. Semakin besar
kesadaran yang akan kita gunakan.
Kesadaran itu
seirama dengan pengalaman-pengalaman yang membuahkan kesan kuat dalam memori.
Akhirnya kita akan punya simpati dan empati pada setiap hal di sekitar kita.
Merasa, kemudian memaknai sekecil apapun. Semakin dalam kita memaknai, meski
itu adalah hal yang dipandang sepele bagi orang lain, tetap akan menambah
kesadaran kita.
Kesadaran ruang
ini adalah kunci bagi kita untuk tetap selalu menjadi kita. Menjadi seseorang
yang melihat, membaca, merasa, dan memaknai ala kita. Keunikan dari seorang
individu. Jika kita yakini, hal itu akan mempengaruhi orang lain di sekitar
kita. Bukan tidak mungkin kita akan menjadi seorang yang bisa membuat orang
lain juga ikut ke dalam pusaran dunia yang kita yakini. Cara pandang, cara
merasa, dan memaknai. Dunia yang sebelumnya hanya kita sendiri yang merasakan,
kemudian menjelma menjadi media tempat kita saling berbagi, menemukan hasrat
kehidupan, dan tujuan. Dunia yang membuat kita merasa terasing menjadi sebuah
dunia yang penuh dengan dinamika dialektik. Hingga kita akan semakin cepat
belajar dan berkembang.
Sebuah teori dari
seorang pemikir Yunani, Demokritos, mengatakan bahwa benda akan bergerak jika
ada ruang kosong. Jika dimasukkan dalam konteks pemikiran ini, logika
terbentuknya atmosfer ini benar. Otak kita terisi dengan kesadaran, sedangkan
orang-orang di sekitar kita akan menerima isi kesadaran kita, karena kesadaran
mereka lebih kecil.
Oleh karena itu
ruang kesadaran yang kita perbesar akan memenuhi ruang-ruang di sekitar kita.
Termasuk juga ruang-ruang materi, seperti udara ini, materi yang lebih renggang
dari kita. Saya tidak ingin mencoba masuk ke dalam logika Demokritos, hanya
saja satu bagian ini bisa kita ambil untuk menyadari bahwa ruang kesadaran
dalam diri kita harus selalu kita isi. Sehingga kita tidak hanya sekedar
menjadi manusia yang tidak berisi apa-apa. Seharusnya segala tindakan kita
mencerminkan nilai-nilai kesadaran dari apa yang kita gali sendiri. Lewat
penafsiran-penafsiran, dan pemaknaan lainnya.
Semakin jauh lagi
ketika kita masuk ke dalam ruang kesadaran, kita akan menemukan sebuah ruang
transenden. Ruang itu jauh melampaui kesadaran materi yang bisa kita lihat
lewat organ indrawi. Seperti angin yang tak nampak oleh mata, tapi sebenarnya
ada. Dunia ini sebenarnya secara tidak sadar selalu kita rasakan. Hanya saja
kita tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang penting atau bernilai.
Seperti ketika
kita melihat laut. Komposisi air, langit, angin, suara ombak, biru, putih dan
dimensi yang tampak di depan kita memunculkan sebuah kesan. Tenang, damai,
lega. Sesuatu yang kita rasakan selain hal-hal biologis panas, dingin, lapar,
haus. Sayangnya kebanyakan orang terjebak di wilayah materi saja. Hingga mereka
melakukan semua itu untuk memenuhi hasrat biologisnya saja.
Keindahan dan
etika menyimpan transenden itu dengan rapi dalam balutan karya, budaya, tata
krama. Untuk melihatnya kita harus mencoba mengkonstruk ulang dengan kita mulai
melihat lebih dekat, merasa lebih dalam, dan memaknai dengan kesadaran. Hingga
kita menjadi manusia seutuhnya. Itulah manusia yang bernilai. Berseni (art people).
* Sebuah pengantar diskusi di Kajian Dolanan (KADO) 20 September 2014,
oleh Dian Teguh Wahyu Hidayat (Cetar)
Komentar
Posting Komentar