Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Permainan Sejati

Hari ini muncul tanggal penting dalam kalender pribadiku. Sejak semalam lalu, saat satu hal berakhir, muncul hal baru yang membuatku kembali hidup. Setelah semalam lalu aku merasa kematian menerpaku, hari ini muncul dengan tangan yang tak kasatmata menunjukkanku pada flash forward. Kalender Manifest (by Cetar) Aku ceritakan sedikit saja tentang sebuah permainan cinta dalam hidupku. Ya, ini memang sebuah permainan. Sayangnya aku baru sadar ketika semuanya akan berakhir. Sejak pertama mulai, pertahananku ku buka lebar, tanpa adanya pertahanan sama sekali. Semua hal kuserahkan dengan begitu tulus, layaknya seorang bapak yang memberikan mainan pada anaknya. Seorang bapak yang selalu memanjakan anaknya hanya untuk kesenangan sang anak. Tanpa memperdulikan apa yang menjadi pembelajaran untuk si anak. Kondisi itu terus berlanjut, saat cinta tumbuh dewasa, aku tetap diam di tempatku semula. Saat permainan dimulai. Aku hanya fokus pada bola yang menggelinding, aku sama sekali tidak mem

Desas Desus Pembentukan UKM Tari

Tari Petik Kopi mulai terdengar keras di telinga pegiat UKM kesenian di Universitas Jember. Dua hari yang lalu pihak rektorat mengadakan pelatihan tari Petik Kopi untuk para penari di masing-masing UKM kesenian. Pelatihan ini ditujukan untuk mempopulerkan tarian yang sedang dijadikan identitas baru Universitas Jember. Setelah pelatihan berakhir ada wacana tentang pembentukan UKM tari pusat. Jadi bidang tari yang awalnya adalah bagian dari UKM kesenian akan dipecah dan dijadikan UKM khusus tari. Pengkhususan ini ditujukan untuk lebih memfokuskan pada kelestarian tari-tari tradisional di Jawa Timur. Wacana ini berbuntut pada berbagai macam respon pro dan kontra, khususnya dari dalam oraganisasi UKM kesenian. Sedikit bocoran dari seorang kawan pegiat kesenian, akan diadakan forum antar UKM kesenian dalam menanggapi rencana pihak rektorat dalam pembentukan UKM tari ini. Suara yang terdengar lebih cenderung pada ketidaksepakatan pihak UKM kesenian dalam pembentukan UKM tari. Berbagai

Kematianku

Minggu ini dan untuk minggu selanjutnya aku sadar, aku telah mati. Kematian ini kusengaja untukku pelajari betapa benar-benar mati itu sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. Kamu akan merasa kosong, kamu akan merasa segala sempit dan gelap, dan kamu akan merasakan tubuhmu berat surit untuk digerakkan. Begitulah yang terasa saat ini, saat kematianku ini. Keresahanku ternyata menjalar pada teman sekotak. Kotak kecil berukuran 4 X 4 meter itu juga merasakan apa yang aku rasa. Kematian ternyata menjalar. Ternyata seperti penyakit menular yang bisa menular ke setiap orang di sekitar. Jika mungkin diriku sendiri tidak apa lah, tapi kenyataannya aku malah juga menyengsarakan orang lain. Dari situ aku sedikit ingin mempercepat kematianku. Aku tidak ingin orang lain yang berada di sekitarku ikut-ikutan mati tanpa mereka sadari bahwa kematian juga harus dipelajari. Seperti sekarang ini. Seperti waktu-waktu yang mengikis dada dan emosiku sendiri. Berbagai macam peristiwa aku pantau dan satu

Bahasa Sejati [#FF2in1]

Pernah aku berdiskusi dengan alam yang lirih. Mengapa benda butuh nama. Mengapa bahasa harus beraksara. Mengapa cinta butuh makna. Pada angin aku berkata, "Tunjukkan dirimu!" Dia tak pernah sedikitpun menunjukkan wujudnya. Pada dingin aku juga berkata, "Tunjukkan dirimu!" Dia juga tak pernah bernyali menunjukkan wujudnya. Karena mungkin akan kutikam saat dia menyata. Itulah yang kupahami akan sebuah cinta. Dia bahasa yang tak harus diungkap dengan kata. Dia bahasa sejati. Setiap makhluk di dunia ini paham akan maknanya tanpa harus membuka artinya dalam kamus. Saat kamu datang, kamu tersenyum. Indah. Hatiku terbang meski tanpa sayap terpasang di punggungku. Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada   Melagu tanpa berkata   Irama hati kita bernada, merayu tanpa bicara Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara Seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu Dan saat aku pahami bahasa sejati. Aku tak butuhkan apa-apa untuk mengerti dirimu.

Tusukan Mataku [#FF2in1]

Aku masih sangat ingat dengan seorang yang menusuk mataku. Dengan pandangannya yang sangat tajam, aku terdiam dan memejamkan mata, mengerjap seperti kambing di depan harimau. "Lemah," katanya dengan ejekan yang tak pernah ku lupa. Lama aku termenung saat mencoba melihat mataku sendiri dalam cermin. Setelah ia pergi dan punggungnya tetap ,ematapku tajam. Ku coba untuk menyelam dalam diriku. Dalam, dalam, dalam, dan lebih dalam lagi. Tapi tetap saja terlihat tubuhku ringkih berdiri tak kuasa menatap mataku sendiri. Aku teringat dengan kolam. Saat mataku tak kuat menahan perihnya air. Kakiku kaku, aku tak bisa bergerak dan mataku terpejam. "Inikah akhirku, tidak!" sergahku pada diriku sendiri. Mataku terbuka, dan aku berteriak lantang. Aku mengalahkan ketakutanku. I got the eye of the tiger, a fighter, dancing through the fire Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar Louder, louder than a lion Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar Kemb

Aku Suka Hari Ini

Kusisakan setengah hari untukku melihat siang. Kemudian satu langkah kakiku mengawali hari untuk merangkai cerita hari itu. Aktifitas paling sederhana. Mandi. Ganti baju. Pinjam sepeda. Berangkat. Kuturut semua yang ada dalam kepala ini yang terlalu lama menggunakan mimpi untuk mengisi hari. Pertama memenuhi jajiku pada seseorang yang sudah hampir tiga bulan terbengkalai. Tugas kuliah dalam bentuk wawancara dari perusahaan suwar-suwir. Kemudian membayar tagihan speedy. Menemui dosen untuk proyek yang hampir sebulan juga terbengkalai. Berbincang dengan temen-temen Manifest. Mengurus ruang rapat amanah dari bu Lilik. Dan terkahir ngopi. Beberapa hal baru. Ya saya suka hari ini. Karena aku bisa memberikan sebuah hadiah kepada seseorang yag kemarin ulang tahun. Cukup ringkas perjalanan hari ini. Hanya terangkum dalam satu paragraf saja. Lebih dari itu sebenarnya banyak hal lain. Secara tidak sengaja bisa mendapat do'a dan wejangan dari bu Prapti, seorang dosenku. Berkenalan dengan

Bulan Tak Terpengaruh Musim

Oh udara malam ini begitu dingin. Banyak yang bilang musim kemarau sudah mau datang. Biarlah. Meski kemarau datang, tetap saja diriku tak beranjak dari sini. Bulan pun tak sebebas musim, yang katanya bisa berubah kapan-kapan. Andai saja bulan seperti juga musim, mungkin saja, waktu tak akan menjadi perdebatan oleh manusia. Semakin nglantur saja apa yang aku bicarakan. Terasa kaku dan tak bisa berpikir jernih. Kayak ada beban dalam pikiran ini yang mengganjal. Di satu sisi aku ingin memiliki cinta lagi, di sisi lain, aku masih ingin sendiri lagi, di sisi lainnya lagi aku bingung, haha dasar manusia tak punya pendirian. Akhir-akhir ini aku sedikit takut dengan tindakanku yang bisa menyakiti orang lain. Beberapa cewek deket dan aku nggak bisa menentukan sikap. Ingin rasanya menjadi apatis dengan apa yang terjadi saat ini. Tapi bagian dari diriku tidak bisa membiarkan orang lain untuk memutus harapannya. Mungkin saja mereka hanya sekedar ingin berteman. Mungkin saja mereka hanya ingin

Bukan Senyum Konotatif

Hari ini aku identikkan senyuman dengan tingkat kebahagiaan seseorang. Entahlah hal itu muncul begitu saja, saat mata ini mulai terbuka di jelang siang ini. Saat matahari sudah bergeser dari timur, sejarak dua anak panah. Satu, dua, dan tiga hari lalu, senyum itu terperangkap pada bentuk absurd. Lengkung bibirku tak kurasakan buah manisnya. Lengkungnya hanya nampak bagus di permukaan. Sedangkan rasanya semakin kecut. Seperti buah blimbing yang tidak pernah kusuka. Menjadi hal yang klise tentunya, semuanya, hanya sedikit pengecualian dari sudut pandang waktu dan subyek. Segala macam perasaan sudah menjadi memori kolektif dari setiap apa yang ditangkap oleh manusia. Karena, meski tidak berikatan secara fisik, aku yakini manusia punya semacam penghubung seperti halnya lebah pekerja yang membuat sarangnya tanpa pernah melakukan pendidikan di bangku sekolah. Dari sini aku coba mencari jawaban dari apa yang sudah dirasakan dari orang lain. Tanpa perantara fisik, tanpa perantara kata da

Tiba-Tiba Datang Pertanyaan

Kembali aku ingin menuliskan sebuah ironi. Tiba-tiba beberapa saat lalu aku terdiam, mataku terpaku pada sebuah gundukan tanah setinggi 13 meter berselimut pepohonan dan semak, gumuk. Entah apa hubungannya semua itu, mulai dari aku terdiam, melamun, dan akhirnya berpikir antara mempertahankan demokrasi dan kebaikan. Jelasnya tiba-tiba saja pikiran itu muncul. Fakultas hukum, belum lama ini mengadakan pemilihan dekan. Dari jumlah senat yang memilih dua calon terbagi menjadi dua suara yang hampir sama, 11 pada calon pertama dan 10 pada calon kedua. Namun rektor menetapkan 10 suara yang menjadi dekan. Hal ini pun menurut rektor tidak lepas dari beberapa pertimbangan. Pertama karena dekan terpilih mempunyai tingkat akademik yang lebih tinggi, dan jumlah suara tersebut itu masih dianggap tidak begitu signifikan perbedaannya. Dari situlah timbul sebuah pertanyaan apakah memang demokrasi itu diambil dari suara terbanyak? Pastinya semua sudah ada persyaratan ketika sudah pada tahapan pem

Pertemuab Luka

Lama tak kucurahkan rasa dalam hati. Beberapa hari ini memang sangat terkungkung pada ruang persepsiku sendiri. Apa itu rasa? Sesuatu yang tak nyata menurutku. Tapi dia mengakibatkan ketidakenakan di bawah rongga dada. Itu Beberapa hari lalu. Lalu? Sekarang memang aku masih membatasinya untuk tidak masuk ke ruang rasa. Sakit. Ya, hanya itu yang akan terasa. Sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan kembali terulang. Ketika menuliskan inipun aku merasa ada sesuatu yang tidak mau hilang. Ada semacam memory lama dengan sedikit bekas luka. Trauma? Mungkin saja. Jelas sekali aku masih belum bisa lepas. Saat itu terjadi, Batinku menolak untuk sebuah kata. "Menerima". Meski berbeda oknum. Dari sisi logika aku pikir semuaya ada pada pertemuan kemarin itu. Tapi kenapa selalu saja logika terus menerus kalah dengan rasa. Haha, lucu sekali. Seperti bukan diriku saja. Beginilah saat aku bebaskan emosi. Tangan-tanganku seakan merekam rasa dan menampilkannya dengan begitu sempurna. Seperti v

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Kucingku Seharga Pulau

 Kau sebut ini apa, jika ternyata kucing piaraanmu seharga pulau kecil yang diperebutkan oleh semua orang. Setiap hari kau mengelus kucing itu bukan karena kucing itu seharga pulau, tapi karena kau hanya suka dengan yang namanya kucing. Setelah kau tahu ternyata harganya senilai pulau? Akankah kau menyembunyikannya dan memperlakukannya berbeda? Menempatkannya pada sangkar emas, memberikannya makanan mahal, memandikannya setiap hari, dan memanjakannya layaknya seorang kekasih? Tidak kutemukan malam sebelumnya yang banyak dibicarakan oleh para orang dengan kebijaksanaan filusuf atau para guru kerohanian. Malam-malamku tetap dengan kopi dan lingkaran manusia-manusia yang mencari kehidupan di tengah bergelimpangannya tubuh-tubuh dengan mata terpejam tanpa kesadaran. Terbujur dalam kenyamanan dan perlindungan dari berbagai macam acaman. Udara malam, gigitan nyamuk, lelah, kantuk, lapar, suara-suara bising, dan semua yang mengancam kenyamanan. Memeluk erat guling dan menyangga kep

Surat Cintaku

Kurasakan sebuah kehilangan. Harapan akan sebuah cinta lenyap. Tak ada yang bisa aku ungkapkan selain hanya kesedihan dan perihnya luka hati ini. Kau, sampai saat ini pun tidak bisa aku pahami, kenapa tak kau ijinkan lagi cintaku menggapai hatimu? Sebenarnya masih ingin ku besarkan harapanku. Ingin sekali bayangmu selalu ku dekap rapat. Aku masih bertanya-tanya mengapa cinta yang dulu pernah kau akui, kini tak lagi kau rasakan? Apakah cinta memang bisa hilang? Akh. Sebenarnya aku sudah tak kuasa menahan perih hati ini. Tak kuasa aku memikirkanmu lagi. Ingin kulupakan semua kenangan bersamamu, tapi kuakui rasaku terhadapmu masih sangat kuat. Aku takut melepas cinta yag lama aku bangun. Tulisan ini, bukan untuk melupakanmu. Tulisan ini adalah wujud ketidakmampuanku dalam menghadapi besarnya rasaku. Aku masih cinta dan akan selalu sayang padamu. Cinta memang mengisi kehidupan dengan penderitaan.