Minggu ini dan untuk minggu selanjutnya aku sadar, aku telah mati. Kematian ini kusengaja untukku pelajari betapa benar-benar mati itu sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. Kamu akan merasa kosong, kamu akan merasa segala sempit dan gelap, dan kamu akan merasakan tubuhmu berat surit untuk digerakkan. Begitulah yang terasa saat ini, saat kematianku ini.
Keresahanku ternyata menjalar pada teman sekotak. Kotak kecil berukuran 4 X 4 meter itu juga merasakan apa yang aku rasa. Kematian ternyata menjalar. Ternyata seperti penyakit menular yang bisa menular ke setiap orang di sekitar. Jika mungkin diriku sendiri tidak apa lah, tapi kenyataannya aku malah juga menyengsarakan orang lain.
Dari situ aku sedikit ingin mempercepat kematianku. Aku tidak ingin orang lain yang berada di sekitarku ikut-ikutan mati tanpa mereka sadari bahwa kematian juga harus dipelajari. Seperti sekarang ini. Seperti waktu-waktu yang mengikis dada dan emosiku sendiri.
Berbagai macam peristiwa aku pantau dan satu persatu sengaja tidak ku catat. Orang mati mana bisa mencatat. Semua mengalir dalam arus yang tidak aku perdulikan. Kecuali apa apa yang bisa memberikan kesan kuat bagiku. Tak akan aku mencoba mengingat ingat. Orang mati tak pernah berpikir untuk mau mengingat sesuatu yang membuat hidup menjadi lebih sulit dari kematian.
Sama sekali tidak ada, aku hanya melakukan kegiatan dalam pusaran waktuku sendiri. Kematian sejati. Aku dalam pusaran itu. Aku dalam kematian yang benar benar tak mungkin bisa mengeluarkan kesadaran. Sedikit saja titik kesadaran muncul, dia hanyut dalam derasnya arus waktu itu.
Meski kopi, meski rokok, meski banyak kawan mencoba membangunkanku, kesadaranku terlalu jauh terseret. Jiwaku telah terbang bersama kenyamanan gelombang arus hilir yang menyenangkan. Disana angin semilir, sejuk, dan irama air gemericik menghipnotis. Semakin memperdalam kematianku.
Sama sekali aku tidak ingin menganggap ada usaha, ada perlawanan dari diriku sendiri. Otakku menolak untuk menjadi seorang yang nampak hebat. Kenyataannya memang tidak ada sedikitpun kehebatan dalam diriku. Hanya saja ego diri yang membawa kesadaran dalam keserakahan hidup saja yang mendasari semua hal hal yang berusaha untuk dibuat hebat.
Padahal, sedikitpun tidak sama sekali. Yah sebenarnya tidak ada hal hebat, seperti orang yang mampu menjaga idealisme atau bisa berkata kata dengan angkuh. Aku sebelum kematianku berperan dengan begitu hebatnya. Hebat sungguh hebat, tapi sekarang aku telah mati.
Silahkan hidup jika aku mampu untuk membawa kesadaranku duduk di atas punggungku. Lakukan!
Keresahanku ternyata menjalar pada teman sekotak. Kotak kecil berukuran 4 X 4 meter itu juga merasakan apa yang aku rasa. Kematian ternyata menjalar. Ternyata seperti penyakit menular yang bisa menular ke setiap orang di sekitar. Jika mungkin diriku sendiri tidak apa lah, tapi kenyataannya aku malah juga menyengsarakan orang lain.
Dari situ aku sedikit ingin mempercepat kematianku. Aku tidak ingin orang lain yang berada di sekitarku ikut-ikutan mati tanpa mereka sadari bahwa kematian juga harus dipelajari. Seperti sekarang ini. Seperti waktu-waktu yang mengikis dada dan emosiku sendiri.
Berbagai macam peristiwa aku pantau dan satu persatu sengaja tidak ku catat. Orang mati mana bisa mencatat. Semua mengalir dalam arus yang tidak aku perdulikan. Kecuali apa apa yang bisa memberikan kesan kuat bagiku. Tak akan aku mencoba mengingat ingat. Orang mati tak pernah berpikir untuk mau mengingat sesuatu yang membuat hidup menjadi lebih sulit dari kematian.
Sama sekali tidak ada, aku hanya melakukan kegiatan dalam pusaran waktuku sendiri. Kematian sejati. Aku dalam pusaran itu. Aku dalam kematian yang benar benar tak mungkin bisa mengeluarkan kesadaran. Sedikit saja titik kesadaran muncul, dia hanyut dalam derasnya arus waktu itu.
Meski kopi, meski rokok, meski banyak kawan mencoba membangunkanku, kesadaranku terlalu jauh terseret. Jiwaku telah terbang bersama kenyamanan gelombang arus hilir yang menyenangkan. Disana angin semilir, sejuk, dan irama air gemericik menghipnotis. Semakin memperdalam kematianku.
Sama sekali aku tidak ingin menganggap ada usaha, ada perlawanan dari diriku sendiri. Otakku menolak untuk menjadi seorang yang nampak hebat. Kenyataannya memang tidak ada sedikitpun kehebatan dalam diriku. Hanya saja ego diri yang membawa kesadaran dalam keserakahan hidup saja yang mendasari semua hal hal yang berusaha untuk dibuat hebat.
Padahal, sedikitpun tidak sama sekali. Yah sebenarnya tidak ada hal hebat, seperti orang yang mampu menjaga idealisme atau bisa berkata kata dengan angkuh. Aku sebelum kematianku berperan dengan begitu hebatnya. Hebat sungguh hebat, tapi sekarang aku telah mati.
Silahkan hidup jika aku mampu untuk membawa kesadaranku duduk di atas punggungku. Lakukan!
Komentar
Posting Komentar