Aku masih sangat ingat dengan seorang yang menusuk mataku. Dengan pandangannya yang sangat tajam, aku terdiam dan memejamkan mata, mengerjap seperti kambing di depan harimau.
"Lemah," katanya dengan ejekan yang tak pernah ku lupa.
Lama aku termenung saat mencoba melihat mataku sendiri dalam cermin. Setelah ia pergi dan punggungnya tetap ,ematapku tajam. Ku coba untuk menyelam dalam diriku. Dalam, dalam, dalam, dan lebih dalam lagi. Tapi tetap saja terlihat tubuhku ringkih berdiri tak kuasa menatap mataku sendiri.
Aku teringat dengan kolam. Saat mataku tak kuat menahan perihnya air. Kakiku kaku, aku tak bisa bergerak dan mataku terpejam.
"Inikah akhirku, tidak!" sergahku pada diriku sendiri. Mataku terbuka, dan aku berteriak lantang. Aku mengalahkan ketakutanku.
I got the eye of the tiger, a fighter, dancing through the fire
Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar
Louder, louder than a lion
Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar
Kembali kutatap mataku dalam cermin. "Aku bukan pecundang!" teriakku menatap nanar pada diriku di seberang cermin itu. Air mataku pun tumpah.
"Bukan! ini bukan tangisan. Ini adalah air dari pembersihan diriku!" teriakku.
Hari itu, mataku terus menatap, dan menusuk tiap ketakutanku sendiri.
"Lemah," katanya dengan ejekan yang tak pernah ku lupa.
Lama aku termenung saat mencoba melihat mataku sendiri dalam cermin. Setelah ia pergi dan punggungnya tetap ,ematapku tajam. Ku coba untuk menyelam dalam diriku. Dalam, dalam, dalam, dan lebih dalam lagi. Tapi tetap saja terlihat tubuhku ringkih berdiri tak kuasa menatap mataku sendiri.
Aku teringat dengan kolam. Saat mataku tak kuat menahan perihnya air. Kakiku kaku, aku tak bisa bergerak dan mataku terpejam.
"Inikah akhirku, tidak!" sergahku pada diriku sendiri. Mataku terbuka, dan aku berteriak lantang. Aku mengalahkan ketakutanku.
I got the eye of the tiger, a fighter, dancing through the fire
Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar
Louder, louder than a lion
Cause I am a champion and you’re gonna hear me roar
Kembali kutatap mataku dalam cermin. "Aku bukan pecundang!" teriakku menatap nanar pada diriku di seberang cermin itu. Air mataku pun tumpah.
"Bukan! ini bukan tangisan. Ini adalah air dari pembersihan diriku!" teriakku.
Hari itu, mataku terus menatap, dan menusuk tiap ketakutanku sendiri.
Komentar
Posting Komentar