Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

(Bukan) Monumen Gumuk Kerang

Perjalanan Para Pemuda Penantang Matahari Bagian #2 Menjejak tanah siang pada bulan puasa bagaikan melangkah di atas bara api. Diperlukan keyakinan dan ketabahan untuk berdamai dengan memori kepala. Yang selalu percaya bahwa matahari jam dua siang akan membakar kulitmu, menguras energimu, apalagi kondisi puasa yang penuh dengan batasan. Ini bukan soal tujuan tawaran keindahan alam di puncak Gumuk Kerang, tapi ini soal keyakinan dalam memegang prinsip. Dari buaian kampus, saya, Ulil, dan Budi meneruskan perjalanan melintas tembok Universitas Jember. Sebuah tembok yang seolah membatasi dan memberikan jarak antara civitas akademika dan warga sekitar kampus. Kontras terlihat antara di dalam dan di luar tembok. Rumah-rumah berderet tak beraturan dengan berdempetan, bahkan mungkin ketika dilihat dari atas seperti saling bertumpuk satu sama lain. Rumah-rumah itu, tembok, dan besarnya bangunan gedung kampus terlihat kontras. Mungkin hanya terlihat dari tampak luar saja, tapi terkadang

Perjalanan Para Pemuda Penantang Matahari Bagian #1

“Bangun!” Sebuah teriakan dari dalam kepalaku menghujat tubuh ringkih yang terlalu manja. Baru hari itu teriakan itu begitu nyaring terdengar, setelah sebelumnya kalah dengan berbagai macam alasan-alasan. “Ah panas sedang puasa. Toh tidur saja dapat pahala. Kalaupun enggak kemana-mana aku juga masih tetep beraktifitas mengisi otakku dengan komentar-komentar dalam media sosial. Toh aku enggak apatis dengan dunia ini,” begitulah pledoi yang kerap tak kusadari sendiri betapa konyolnya diriku. Aku juga tidak menduga, ternyata teman sekotak ini rasanya juga merasakan hal yang sama. Ulil dan Budi, seakan berubah dari pemuda yang membangun mimpi, menjadi kaum yang ingin menantang matahari. Aku kira awalnya mereka hanya main-main saja dengan kata-katanya, “Ayok jalan-jalan! kita menjalankan proyek rahasia kita.” Perkiraanku salah. Mereka serius. “Dan hari ini akan berebeda,” pikirku. “Kita jalan sekarang. Ke gumuk kerang!” Ajak Ulil. “Yakin? Jauh lho,” kataku. “Ayolah, jarang-j

Buletin Jum'at (Bukan) Media Propaganda

Ummat Islam 'Ummatan Wahidah'. Begitulah judul yang terpampang dalam buletin Jum'at Edisi 496/11 Juli 2014, terbitan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Universitas Jember. Buletin yang kerap kali mencoba untuk menelaah kondisi sosial di dalam negeri ini lewat kacamata Islam. Sesuatu yang menurut saya layak untuk diapresiasi, karena mau mencoba untuk selalu setia menelaah dinamika islam dalam setiap momen. Seperti artikel yang ditulis pada Jum'at ini. LDK mencoba untuk menelaah kondisi politik dalam negeri yang memang kebetulan sedang 'panas'. Artikel itu menghimbau umat islam agar menjaga persatuan. Karena umat islam adalah ummatan wahidah. Sebuah kaum yang disatukan oleh kesamaan keyakinan. Kesamaan ini tidak terbatasi oleh warna kulit, darah, maupun teritorial. Sebuah konsep persatuan selayaknya konsep multikultural yang menitikberatkan pada kemanusiaan. Hanya saja konsep Islam ini lebih mengacu pada realitas spiritual yang menurut saya pribadi berada satu taha

Food #not for Sale

Food not for sale, sebuah kalimat yang tidak mungkin terwujud dalam dunia ini. Makanan telah menjadi komoditas nomor satu dunia. Sejak manusia mulai mengenal alat pertukaran. Sejak keluarga membesar dan mulai mendiferensial, kemudian muncul kelompok-kelompok dengan setiap perbedaannya. Anggota kelompok terus membesar dan mengklaim kepemilikannya. Dunia yang dibangun oleh orang jawa, mangan ora mangan asal kumpul, kini tidak berlaku lagi. Saya melihat slogan itu sebenarnya dalam sebuah konteks konseptual ekonomi. Konsep gotong royong kebersamaan dalam membangun ekonomi bersama. Itulah yang mungkin ingin disampaian oleh leluhur bangsa jawa. Mangan merupakan simbol dari sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ora mangan berarti sebuah resiko yang seharusnya ditanggung bersama atas sebuah usaha ekonomi yang dilakukan bersama-sama ( kumpul).  Namun, itu menjadi keniscayaan. Sebuah konsepsi yang hanya menjadi wacana, karena belum sampai wacana itu membumi kita telah hancur

Politik (Uang) dalam Keluarga

Keluarga telah menjadi basis politik paling sempit dalam konstalasi politik negara. Hal ini disebabkan oleh kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat timur. Hingga akhirnya sebuah prisnip sering kali dikalahkan oleh kesungkanan atas dasar menjaga hubungan keluarga. Banyak orang lebih menjaga kerukunan keluarga dari pada menciptakan permusuhan karena alasan politik negara. Apalagi persinggungannya dengan kehidupan keluarga sehari-hari sangat jauh. Karena sebanarnya prilaku politik itu berdasarkan kepentingan ekonomi. Bukan perjuangan menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran ini seketika mengemuka ketika salah seorang teman bercerita lewat sebuah tulisannya. Dia merasa muak karena telah merasa terbelenggu dalam keluarganya. Dia menganggap hanya menjadi obyek dari kesalahan tafsir orang-orang yang memegang erat budaya keluarganya. Budaya arab yang sangat membatasi anak-anak perempuannya. Batas itu baru dia rasakan sekarang, saat dia telah selesai memupuk idealisme

Selalu Ada Sisi Baik Kok

Saya tidak ingin ketinggalan dengan gegap gempita pemilu kali ini. Karena memang sangat manarik untuk diikuti. Berbagai macam fenomena yang bisa dikatakan baru muncul pada pemilu kali ini. Ini adalah sebuah momen yang saya juga ikut merasa menjadi bagian darinya. Sebuah momen demokrasi yang 68 tahun lalu diperjuangkan dengan mengorbankan jiwa raga. Demi mendapatkan kebebasan menentukan nasib sendiri, menentukan arah politik sendiri, dan kebebasan menentukan masa depan sendiri. Saya mengakui menjadi salah satu dari orang-orang yang mempunyai harapan tinggi pada pemilu kali ini. Melihat begitu banyak angin positif yang dihembuskan oleh para politikus negeri ini. Bahwa pemilu ini akan membawa Indonesia pada kemajuan yang diidam-idamkan selama ini. Memang tidak semua politikus bersih. Banyak yang mengatakan demikian dan debat capres pun sampai ada komentar tentang “maling-maling” politik. Tapi apa salahnya ketika kita harus percaya bahwa pada dasarnya setiap manusia itu baik. Naif