Langsung ke konten utama

Metode Baru Menulisku

Aku malam ini menyelesaikan satu buku. Novel karangan Maalouf, seorang penulis dari timur tengah. Buku itu berjudul Baltasar Oddisey pencarian Nama Yang ke Seratus. Konsep penulisan yang dibawakannya membuatku sangat tertarik ingin meniru. Seperti penulisan diary. Pengemasannya begitu mudah dicerna dengan bahasa sehari-hari. Tidak begitu panjang. Pesis sekali.

Hampir tiap hari dalam waktu satu tahun, tulisan itu selesai. Dengan begitu banyak tanggal sesuai dengan hari dalam satu tahun. Namun, dia menggunakan benang merah satu peristiwa. Sehingga cerita itu menjadi satu kesatuan utuh.

Menurutku ini sangat mudah untuk ditiru. Dengan kata-kata sederhana dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari pun bisa saja setiap orang menuliskannya dengan mudah. Tinggal bagaimana kita bisa memfokuskan pada satu benang merah.

Sang tokoh, di dalam buku hariannya sering mengulang kata-kata, “Aku harus menulis tiap hari. Karena menulis membuatku bisa meringankan beban dalam kepala.” Satu hal yang menurutku menjadi satu kebiasaan yang mungkin membuat setiap orang bisa selalu merekonstruksi pemahaman dari apa yang dijalani tiap hari.

Aku, sebagai satu manusia dari 5 milyar manusia. Atau setiap orang dari 5 milyar manusia lainnya, tentu satu sama lain berbeda. Setiap orang penuh dengan kisah masing-masing. Dan tak seorang pun biasanya akan menyimpan bahan pemikiran yang kadang membuatnya malu mengungkapkan. Padahal belum tentu hal itu adalah hal memalukan.

Setiap kisah selalu membawa pengalaman yang juga bisa selalu menjadi pembelajaran bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Entah itu positif ataupun negatif.

Aku suka menulis, tapi sering juga aku merasa sangat malas untuk menulis. Mungkin karena aku tidak terbiasa menulis. Kadang aku berpikir bahwa apa yang aku tulis selalu sulit aku tuliskan, karena bahan penulisanku jauh dari apa yang aku pahami. Padahal, ketika aku membaca karya tersebut, hal-hal yang dia ungkapkan begitu sederhana, dan sangat mudah baginya untuk menulis.

Dimulai dari hal-hal yang paling mudah untuk diungkapkan sampai pada keterbiasaan dalam pengungkapan. Ternyata seperti bisa dibiasakan dan pasti akan mudah. Ketika aku mersa senang, kenapa aku tidak menuliskannya dengan sederhana aku mengatakan bahwa aku senang. Kemudian, pasti ada pertanyaan, “Apa yang membuatku senang?” Selanjutnya, cerita akan mengalir dengan sendirinya. Begitupun ketika aku merasa sedih, lucu, sakit, atau pun hal-hal lainnya.

Seperti sekarang ini. Aku merasa sangat tertarik dengan apa yang telah aku baca. Alasan-alasannya pun sangat aku pahami sekali.


Selanjutnya, aku juga ingin menulis seperti itu. Dengan sederhana. Dengan sesuatu yang memang sangat aku pahami. Satu bulan atau dua bulan nanti kita lihat apa yang terjadi? Yang paling penting, aku akan menulis terus setiap hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...