Langsung ke konten utama

Aku dan Macapat

Aku ingin terus memenuhi janjiku untuk terus menulis. Dengan topik bahasan yang aneh, ataupun hanya sekedar cerita datar. Karena aku rasa titik roda masaku kembali pada titik paling bawah. Aku begitu sangat merasa bodoh sekali. Aku gunakan semua kata ‘lebih’ itu untuk menegaskan bahwa memang demikian yang terjadi.

Aku masih tidak tahu, tulisan ini akan bisa panjang atau malah hanya sekedar paragraf-pragraf pendek yang tidak menarik. Aku hanya ingin memenuhi kewajibanku saja. Bila ada orang yang mengatakan kalau tulisanku jelek, atau aku hanya ‘nelek’ memang demikian adanya. Aku ingin membiasakan diriku untuk terus menulis. Mengulang kalimat kemarin, “Aku menulis untuk meringankan beban kepalaku untuk mengingat.” Aku tambahkan, “Dan memahami tentang sesuatu.”

Tidur panjangku. Bukan sebuah metafora atau bentuk analogi. Ini kalimat yang memang berarti secara tekstual. Karena memang rata-rata aku tidur lebih dari enam jam tiap hari. Meski aku tak pernah tidur malam, tapi hari-hariku selalu saja hilang ditelan tidurku sendiri. Jam satu siang aku terbangun oleh panasnya siang matahari. Teman-teman di Macapat, tempatku tidur dan menghabiskan waktu, juga masih baru bangun tidur. Kepala terasa berat dan bingung mau melakukan apa. Tidak ada yang aku ajak bicara. Semua orang kayaknya masih sibuk dengan permainan mereka. Counter Strike. Game yang baru digemari di Macapat. Ya, Macapat. Sepertinya aku ingin sedikit menceritakan tentang tempatku ini.



Macapat bagiku sudah menjadi satu bagian dari hidupku sekarang. Prioritas utama yang aku pikirkan akhir-akhir ini. Aku malas untuk menceritakan bagaimana aku bisa di sini. Mungkin suatu hari nanti. Sekarang aku ingin menceritakan tentang apa yang akan aku perbuat dengan tempat ini. Sebuah angan-angan, sebuah dunia, dan sebuah tempat yang aku harapkan menjadi masa depanku. Mungkin terlalu cepat memutuskan. Tapi apakah ketika aku menunda untuk memutuskan ada jaminan untuk membuat pilihan yang lebih baik? Aku pikir tidak. Jaman sekarang waktu bergerak begitu cepat, begitupun dengan kita. Jadi, semakin cepat kita memutuskan sesuatu, maka akan semakin banyak yang akan kita pelajari. Itu prinsipku sekarang.

Aku dan Macapat mungkin sudah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan. Tidak ada waktu yang labih banyak aku habiskan kecuali di sini. Tidur, ngobrol, makan, mandi, bekerja, membaca, dan menulis, semuanya di sini. Ketika siang, malam, bahkan sampai kembali pagi lagi. Mungkin masih terlalu dini juga ketika aku mengatakan bahwa Macapat adalah sumber pendapatanku sekarang, tapi memang demikian adanya. Aku sudah tidak mendapatkan kiriman lagi dari rumah, dan aku sendiri sudah berstatus sarjana. Bisa dibilang pengangguran. Ya, aku perngangguran. Tapi untuk saat ini aku berani berpikir bahwa Macapat adalah segalanya bagiku. Termasuk juga aku anggap keluarga yang membiayaiku.

Seakan aku menciptakan dunia sendiri. Orang-orang yang berada di sini adalah teman-teman organisasiku sendiri. Orang-orang yang bersama-sama membangun dunia idealisme. Sehingga meski aku telah terbebas dari jerat perguruan tinggi aku masih saja merasakan dunia idealisme itu. Untuk saat ini dunia ini masih membuatku nyaman. Begitu nyamannya hingga aku tak pernah merasa terancam. Ancaman bagiku nol. Tidak ada sama sekali. Aku aman oleh segala macam gelombang perusak, kecuali jika rasa nyaman itu sendiri dianggap sebagai penyebab kerusakan. Mungkin iya, mungkin juga tidak aku masih tidak sempat memikirkannya. Yang jelas Macapat hal utama yang aku pikirkan.

Dua hari lalu, Macapat mendapatkan sumbangan buku. Lebih tepatnya titipan buku dari rumah baca Tikungan untuk teman-teman pers mahasiswa. Ratusan buku beserta rak-rak bukunya kini menjadi pelengkap perpustakaan di Macapat yang memang sudah mulai awal mencoba menyediakan perpustakaan. Terus terang buku-buku itu membuatku semakin bersemangat. Aku pernah membayangkan kalau Macapat akan menjadi basis tempat untuk diskusi, membaca, dan berkumpulnya komunitas yang suka membaca. Tentu saja buku-buku itu dan kemurahan hati teman-teman Tikungan, kemudian dukungan dari teman-teman pers mahasiswa Jember membuatku semakin yakin, bahwa Macapat akan hidup lama.

Beberapa waktu lalu salah satu teman sempat bercerita. Macapat kayaknya sudah ‘dapet’ sensenya. Dia merasakan atmosfer macapat sudah bisa dibilang layak untuk dikatakan tempat berdiskusi. Aku sangat senang mendengarnya. Memang beberapa waktu lalu sempat ada salah satu komunitas yang ingin mengadakan diskusi rutin di sini. Bahkan ada yang sudah membooking meeting room Macapat untuk berdiskusi setiap seminggu sekali. Kerja sama dari teman-teman Akber Jember yang telah sudi meminjamkan proyektornya membuatku semakin harus bersemangat dengan semua keberuntungan ini.

Saya juga ingat, beberapa waktu lalu ada ucapan terima kasih dari salah seorang teman komunitas. Dia bilang, “Terima kasih Macapat yang telah ikut mengkampanyekan literasi.” Ucapan terima kasih itu membuatku sangat bersyukur. Padahal aku sendiri masih merasa belum melakukan apa-apa.

Aduh, tulisanku tidak bisa aku kontrol sendiri. Malah seperti tulisan ucapan terima kasih. Padahal aku ingin cerita apa adanya tentang Macapat. Tapi biarlah, sudah terlanjur. Karena memang Macapat tidak akan pernah berkembang tanpa bantuan, dukungan teman-teman itu. Terima kasih sekali, meski ucapan ini tidak bisa membayar apa pun yang sudah diberikan oleh teman-teman.

Masih banyak sekali hal yang harus dibenahi. Kembali lagi dengan cerita seorang teman. Dia bilang, “Untuk membuat sesuatu itu besar, kamu harus membesarkan dirimu dulu.” Seperti itulah katanya dari pesan temannya yang lebih senior. Aku anggap ini bukan sebuah kata-kata motivasi. Kata motivasi masih membuatku merasa terganggu. Aku lebih suka menganggap bahwa dia ingin membagi keresahannya. Dengan ketulusan yang dia pancarkan dari sorot matanya. Dia ingin sekali mencari pegangan untuk sama-sama melangkah. Ternyata ketulusan membuat kata-kata lebih terasa dari pada kata-kata menggurui. Karena kata-katanya tidak menimbulkan paksaan untukku menjadi bersemangat. Tapi sebuah empati muncul seketika.

Ah, aku benar-benar merasa malu, jika aku memandang Macapat sebagai lahan bisnis. Itu akan sangat tidak etis. Itu akan membuat orang-orang kecewa. Sama halnya aku mejual ketulusan-ketulusan mereka untuk keuntunganku sendiri. Mungkin yang harus aku lakukan adalah selau menulis tentang Macapat tiap hari. Iya mungkin seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...