Langsung ke konten utama

Keterjebakan Semu

Tentang seorang kawan. Mungkin bisa dikatakan sahabat. Atau malah orang yang sangat dekat namun berjarak. Aku tidak bisa mengkategorikannya ke dalam sebuah tingkatan status hubungan pertemanan. Pastinya adalah dia seorang yang saat ini dalam kondisi kosong. Dan itu membuatku bingung. Karena akulah orang yang selalu diajaknya sharing dang diskusi. Tentang dunia kami. Asmara, sosial, politik, budaya, seni, dan organisasi.

slowbuddy.com


Aku lupa dengan awal kami bertemu. Dan juga lupa kapan kami bisa begitu dekat. Kata kawan saya yang lain, hal itu tidak usahlah dipikirkan. Karena basa-basi seperti perkenalan dan semacamnya hanya sebuah usaha untuk mencari keuntungan pribadi. Bukan ketulusan. Seperti ketika seorang anak mengenali ibunya. Toh pada akhirnya kami bisa begitu dekat.

Sering sekali kami berbicara tentang dunia kami masing-masing. Tentang buah pikiran dan pendapat yang tidak selalu sama. Bukan untuk saling mengungguli satu dengan yang lain. Tapi karena alasan masing-masing. Aku sendiri nyaman karena merasa dia sangat terbuka dan mau mendengar. Itu saja. Bukan karena dia lebih pintar atau karena satu atau lain hal. Begitupun dengannya. Aku pikir juga demikian dengannya. Kami dekat karena kami bisa membicarakan apa saja. Tentang hal-hal konyol sampai hal serius sekalipun. Kami tidak terbatasi dengan rasa sungkan, curiga, benci, atau hal lainnya.

Pernah satu bulan lalu, dia bilang, “Lama kita nggak ngobrol cuy.” “Tentang apa?” tanyaku. “Ya tentang apa aja, tentang semuanya,” jawabnya. Aku merasa telah salah menjawab. Aku merasa dia mengalami sebuah fase kerinduan. Satu fase kerinduan yang aku maksud ini berkaitan tentang sebuah dunia yang telah kami tinggalkan bersama-sama. Dunia organisasi kampus. Sebuah dunia yang membentuk idealisme kami. Sebuah fase yang pasti akan kita tinggalkan saat kita lulus kuliah nanti.

Ada semacam ketakutan. Itu terlihat begitu jelas. Matanya menunjukkan sorot yang redup namun senyumnya mengembang, ketika aku menceritakan tentang komunitasku. “Kamu beruntung cuy,” komentarnya tidak seperti saat kami dulu masih sama-sama berstatus mahasiswa. “Kamu masih bisa merasakan dunia idealisme. Padahal banyak orang yang harus meninggalkan dunia itu ketika mereka sudah keluar dari kampus.”

Kemudian dia mengungkapkan kerinduan-kerinduan itu. Seakan-akan fase yang dia alami sekarang menjadi sebuah momok. “Sekarang aku tidak punya keinginan lagi untuk motret. Aku sudah kehilangan sense fotografi. Aku mengalami kemunduran. Foto-fotoku tidak lagi bisa membuatku merasa bangga. Padahal dulu, aku sangat menyukai foto-fotoku sendiri,” ungkapnya panjang lebar.

Bahkan dia menganggap dia tidak punya tujuan yang jelas. Dia masih belum menemukan dunianya. Dia menganggap bahwa dirinya begitu jauh dengan orang-orang yang dulu pernah belajar bersama-sama dengannya tentang fotografi. “Mereka semua bahkan sampai menjadi langganan media nasional, bahkan sampai ada yang pernah jadi headline media internasional,” katanya katanya seakan mengutuk dirinya sendiri.

Aku sungguh tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Tidak mungkin aku menyalahkannya karena dia telat lulus, IPK nya jeblok, atau apapun alasannya. Kupikir dia harus segera memutuskan. Apalagi dia sering menganggap dirinya seperti sampah ketika berada di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Semuanya membingungkanku, karena aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebagai seorang kawan yang baik akupun hanya mengatakan sebentuk rasa simpati saja. Karena dia pasti sudah memikirkan semuanya. Sampai pada kemungkinan yang paling tidak dia inginkan, “Mengemis pekerjaan.”

Dia seperti aku juga pastinya. Ingin menapak pada dunia yang selama hampir tujuh tahun kami bangun. Meski aku juga tidak yakin kalau aku suka dengan rutinitas yang aku jalani sekarang. Tapi, memang aku merasa bersyukur dengan apa yang aku jalani. Bedanya, aku masih berada pada area di mana aku masih bisa membaca, berdiskusi, dan menulis dengan tenang. Sedangkan dia, jauh dari itu. Dunianya menjauh dan membuatnya mati rasa.

Aku tidak tahu, apakah dia memang tidak mau mencari, ataukah ada sesuatu yang lain. Hingga membuatnya terjauhkan dari dunianya. Aku pernah menyalahkan organisasi yang pernah kami singgahi bersama dulu. Seakan dia mengorbankan waktunya untuk organisasi dan di sisi yang lain, fotografi yang dia anggap sebagai dunianya telah dia lupakan. Aku tidak pernah menyalahkan dirinya karena dia memilih mengurusi organisasi. Aku menyalahkan organisasi karena telah membuatnya membuang dunianya.

Mungkin tidak etis menyalahkan organisasi yang telah memabangun dunia idealisme kami. Tapi kenapa banyak orang yang menyalahkan sistem daripada dari pada menyalahkan personal yang dianggap sebagai korban? Apakah ini beda konteks? Haruskah aku menyalahkan sistem yang melingkupi sistem yang membentuk organisasi kami itu?

Ini tentang seorang kawan yang harus aku bela. Dia telah terjebak di tengah-tengah sistem nilai yang terbentuk untuk meruntuhkan sistem nilai suprastruktur, dengan sistem suprastruktur itu sendiri. Harus berapa banyak lagi yang akan menjadi korban?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...