Langsung ke konten utama

Perjalanan Para Pemuda Penantang Matahari Bagian #1



“Bangun!” Sebuah teriakan dari dalam kepalaku menghujat tubuh ringkih yang terlalu manja. Baru hari itu teriakan itu begitu nyaring terdengar, setelah sebelumnya kalah dengan berbagai macam alasan-alasan. “Ah panas sedang puasa. Toh tidur saja dapat pahala. Kalaupun enggak kemana-mana aku juga masih tetep beraktifitas mengisi otakku dengan komentar-komentar dalam media sosial. Toh aku enggak apatis dengan dunia ini,” begitulah pledoi yang kerap tak kusadari sendiri betapa konyolnya diriku.
Aku juga tidak menduga, ternyata teman sekotak ini rasanya juga merasakan hal yang sama. Ulil dan Budi, seakan berubah dari pemuda yang membangun mimpi, menjadi kaum yang ingin menantang matahari. Aku kira awalnya mereka hanya main-main saja dengan kata-katanya, “Ayok jalan-jalan! kita menjalankan proyek rahasia kita.”
Perkiraanku salah. Mereka serius. “Dan hari ini akan berebeda,” pikirku.
“Kita jalan sekarang. Ke gumuk kerang!” Ajak Ulil.
“Yakin? Jauh lho,” kataku.
“Ayolah, jarang-jarang kita seperti ini,” bujuknya.
Akhirnya langkah kaki yang menjawab tujuan perjalanan kami. Langkah itu juga yang sedikit menjauhkan kami dari dunia mimpi. Menuju dunia nyata bagi para pemuda naïf, utopis, dan melankolis.
Aku menamakannya langkah menantang matahari. Sebuah langkah nyata dari hari-hari ironi pemuda seperti kami. Selalu kritis tapi tidak realistis. Selalu naïf tapi oportunis. Selalu pesimis dan sok moralis.

Figure 1 Melangkah dengan ringan #1 (doc. pribadi)
Figure 2 Melangkah dengan ringan #2 (doc. pribadi)
***

Hari Minggu, 13 Juli 2014, setengah dua siang . Untungnya awan mampu membendung terik matahari. Mungkin sekiranya sinar matahari penuh waktu itu, kami tidak akan senekat itu. Karena kami puasa. Fisik kami jelas sangat terbatas, karena kami tidak “diizinkan” untuk menambah energi ketika nafas dan gerak tubuh yang terlalu berat menghabiskan simpanan energi yang kami timbun sejak fajar tadi. Begitupun dengan cadangan air yang akan keluar banyak lewat kringat dan metabolisme tubuh lainnya. Ah tapi memang begitu niat kami. Kami akan menantang semuanya, bukan hanya matahari tapi juga batas fisik kami.
Bisa dibayangkan perjalanan yang akan kami lewati. Melintasi kompleks kampus dari ujung utara sampai ujung selatan. Kemudian satu kompleks perumahan di jalan Jawa dengan deretan rumah sepanjang satu kilometer. Berlanjut sederet ruko di jalan Jawa yang kian hari tidak sedikitpun berkurang malah bertambah sepanjang satu kilometer. Setelah itu masih ada kompleks perumahan di jalan Karimata dari ujung barat sampai ujung timur, dan terakhir kami harus menaiki gumuk kerang dengan ketinggian 50 meter dari batas tanah datar, dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Belum lagi kami nanti akan pulang dengan jalan kaki juga. Ah, memang kalkulasi selalu menimbulkan ketakutan-ketakutan.
Namun, kami akan tetap melangkahkan kaki kami. Lengkah demi langkah ini bukan sebuah perhitungan dalam konteks hilangnya energi fisik, tapi ini langkah kami adalah transformasi dari semangat utopis yang ingin kami bangunkan dari ruang sunyi.
Dari cara pandang itu, seakan setiap hal di sekeliling kami berubah ramah. Mulai dari matahari yang menyembunyikan sinarnya di balik awan. Udara berhembus semakin kencang. Dan wajah-wajah pemuda-pemuda ini penuh dengan senyum yang meringankan setiap langkah. Terbentuklah sebuah dunia dalam radius celotehan kami. Seakan kami berubah menjadi penguasa waktu. Setiap hal di sekeliling kami membeku layaknya diorama. Sebuah panggung pertunjukan yang memberikan berbagai macam gambaran kehidupan di depan mata kami. Ada tragedi, ada komedi, ada ironi. Setiap hal yang kami lihat seperti sebuah metafora dalam dunia utopis kami.
Satu diorama muncul saat lewat di tengah kompleks intstitusi pendidikan Universitas Jember. Ironi dari sebuah symbol intelektual yang bersanding dengan kekumuhan. Sampah menumpuk di belakang gedung fakultas pertanian. Di sana bukanlah tempat pembungan sampah, tapi yang terlihat di situlah tempat menumpuknya sampah. Tanpa ada label ‘tempat akhir pembuangan sampah’. Tanpa ada label ‘tempat pengelolaan sampah’. Tapi apakah label juga diperlukan jika hanya untuk menjadikannya sebagai pledoi untuk melegalkan membuang sampah di sana? Aku rasa hal ini benar-benar ironis. Bagaimana sebuah lembaga pendidikan tak mampu bertanggung jawab dari apa yang mereka sudah perbuat sendiri. Sampah itu jelas akan mencoreng muka lembaga. Itu yang terlihat. Yang tidak terlihat, sampah itu akan berubah menjadi sarang penyakit, menjadi polusi tanah, dan merusak biosistem di sana.

Figure 3 Sampah menumpuk di belakang gedung FP (doc. pribadi)

Kami pun tetap berjalan. Kami hanya berhenti sebentar, mengelus dada, dan merasakan betapa sakitnya dada ini untuk menghirup udara di sana. Di depan ada diorama lain, kontras dengan panggung yang telah kami lewati barusan. Diorama di depan kami menghembuskan udara yang begitu sejuk. Mata kami pun membuka lebih lebar seakan merasakan tetes air dari pemandangan di depan kami.
Pepohonan berjejer. Daun-daun dari pohon angsana beterbangan di sekitar kami. Jalanan pun lengang. Hanya beberapa orang yang terlihat juga ingin menikmati siang teduh itu. Namun, tetap saja pikiran utopis kami menyeruak ingin mengambil alih kesadaran. Pemandangan itu hanyalah kamuflase. Pepohonan itu hanya terlihat kokoh batangnya. Akarnya rapuh siap roboh menimpa mahasiswa-mahasiswa. Hingga para mahasiswa itu harus mau menahannya dengan lembaran-lembaran uang untuk mengokohkan legitimasi kuasa wacana. Yang pada akhirnya selalu saja menjadikan mahasiswa sebagai obyek, bahkan komoditas dari pendidikan.
Figure 4 Jalan utama Universitas Jember (doc. pribadi)

Pikiran kami tidak bisa tenang ketika harus menikmati pertunjukan itu. Karena setelahnya pun terjadi diorama-diorama yang senada. Sampah kembali terlihat di institusi ini. Kemudian remaja-remaja yang membodohi dirinya sendiri. Mereka berprilaku layaknya remaja yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Mereka berkumpul dengan teman-teman mereka di tengah siang tanpa melakukan apa-apa. Malah yang kami lihat mereka seolah ingin memperlihatkan eksistensi mereka lewat sepeda mereka. Lewat tampilan mereka yang kami pikir sangat kampungan. Mungkin menurut mereka akan terlihat populer. Dan kepopuleran kami yakin menurut mereka sesuatu yang keren.


Figure 5 Sampah di lapangan Universitas Jember (doc. pribadi)


 Inilah sebagian dari perjalan menantang matahari. Sebuah kacamata utopis dalam membingkai institusi pendidikan. Perjalanan kami masih panjang. Karena kami lah hari itu yang memegang kuasa atas waktu. [Teguh]
Jember, 15 Juli 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...