Perjalanan Para Pemuda Penantang Matahari Bagian #2
Menjejak tanah siang pada bulan
puasa bagaikan melangkah di atas bara api. Diperlukan keyakinan dan ketabahan
untuk berdamai dengan memori kepala. Yang selalu percaya bahwa matahari jam dua
siang akan membakar kulitmu, menguras energimu, apalagi kondisi puasa yang
penuh dengan batasan. Ini bukan soal tujuan tawaran keindahan alam di puncak Gumuk
Kerang, tapi ini soal keyakinan dalam memegang prinsip.
Dari buaian kampus, saya, Ulil,
dan Budi meneruskan perjalanan melintas tembok Universitas Jember. Sebuah tembok
yang seolah membatasi dan memberikan jarak antara civitas akademika dan warga
sekitar kampus. Kontras terlihat antara di dalam dan di luar tembok. Rumah-rumah
berderet tak beraturan dengan berdempetan, bahkan mungkin ketika dilihat dari
atas seperti saling bertumpuk satu sama lain.
Rumah-rumah itu, tembok, dan
besarnya bangunan gedung kampus terlihat kontras. Mungkin hanya terlihat dari
tampak luar saja, tapi terkadang saya juga yakin, kampus pasti berdampak positif
bagi warga. Secara finansial, pasti. Dari kampus warga bisa mendapatkan tambahan
penghasilan lewat fasilitas kos, warteg, toko, dan lain sebagainya.
Namun, secara sosiologis, saya
agak merasa ada batas tak kasat mata antara civitas akademika dengan warga
sekitar. Seakan ada tembok pembatas yang membuat kedua sisi timpang, berjalan
sendiri-sendiri. Mahasiswa masih menjadi pelanggan setia warga, bukan menjadi
mitra yang bisa saling berbagi satu sama lain. Apalagi jika memasukkan sistem birokrasi
kampus, warga sekitar seakan bukan hal yang penting. Bahkan terlihat seperti
ancaman bagai kampus. Hal ini terlihat jelas dalam papan peringatan yang kami
temukan di atas tembok kampus Universitas Jember.
Tembok kampus universitas Jember (doc. pribadi) |
Papan peringatan (doc. pribadi) |
Kami pun seakan menjadi pembelah di
tengah kebekuan warga kampung dengan kampus. Kami melintas dari satu sisi ke
sisi lain dengan langkah yang ringan. Tanpa hambatan. Bahkan riang dengan tawa
dan atmosfer yang kami bentuk sendiri.
Mungkin hanya langkah kaki yang
bisa menjadi jembatan. Langkah-langkah kaki mahasiswa yang selalu mengunjungi warga
dengan tanpa ada batasan diri, bertemu dan bertatap dengan senyum. Kemudian terus
melangkah ke depan.
Ulil dan Budi (doc. pribadi) |
Keluar dari perkampungan sekitar
kampus, ternyata masih nampak sekali dampak keberadaan kampus ini. Pedagang
kaki lima (PKL) berderet di atas trotoar jalan Jawa, sebagai respon kebutuhan makan
ribuan mahasiswa. Ruko, pertokoan, percetakan, warnet, dan sungai yang penuh
sampah. Ah, apa yang terakhir juga bagian dari keberadaan kampus? Entahlah. Hanya
saja siapa lagi yang dipersalahkan ketika sebuah institusi pendidikan tak mampu
memberikan dampak positif ke lingkungan sekitarnya.
Dari atas jembatan (doc. pribadi) |
Berjalan di trotoar (doc. pribadi) |
Kami pun melewatinya dengan hanya
berceloteh ringan. “Duh, sampah lagi.” Sebuah ungkapan yang mungkin bisa
menenangkan hati kami sendiri atas rasa bersalah yang memuncak. Kemudian kami
berjalan di atas trotoar, meski trotoar penuh dengan lubang. Salah langkah
sedikit saja, bisa masuk dalam saluran air di bawah trotoar. Muncul ungkapan-ungkapan
sarkas kami kami sendiri. Tentang siapa yang salah siapa yang benar.
“Jika memang tidak ingin disalahkan
ya jadi orang gila saja,” ketusku pada Budi.
Secara kebetulan sekali di bundaran
jalan Halmahera ada penjual lalapan, semangka, dan es susu kedelai. Kemudian ada
orang gila yang sedang duduk di depan ruko. Rentetan simbol yang menurutku melengkapi
perbincangan kami. Menjadi seperti sebuah pertunjukan dalam panggung yang kami
ciptakan sendiri lewat imajinasi. Waktu membeku dan memori menyeleksi menjadi
satu kesan yang terinterpretasi lewat logika visul.
Orang gila (doc. pribadi) |
Pak tua pedagang lewat pikulan (doc. pribadi) |
Lorong menuju perkampungan (doc. pribadi) |
Kemudian di depan gedung radio
Prosalina FM terlihat seorang bapak tua duduk membelakangi kami. Dia memakai
pakaian lusuh dan meletakkan sepikul barang bawaannya. Hanya diam. Saya sempat
mengabadikannya. Hanya sebentar berhenti kemudian melangkah lagi.
***
“Ayo cuy! Ini sudah dekat,”
kata-kata Ulil akhirnya menyadarkanku. Gumuk Kerang sudah terlihat dari
kelak-kelok jalanan sempit di tengah pemukiman. Kami sengaja mengambil jalan pintasan
yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Kelak-kelok itu sedikit membingungkan
Ulil. Waktu sampai di ujung gang ada dua percabangan jalan yang sama-sama
berbatasan dengan sawah. Kami mencoba satu jalan ke arah kiri. Kebetulan saya
yang memutuskan waktu itu. Karena saya pikir di sana ada sumur. Dan sumur
menjadi indikasi fungsi adanya gumuk. Gumuk diduga sebagai penyimpan air alami.
Karena gumuk terbentuk dari bebatuan, sedangkan batu memang bersifat sebagai
penyerap air.
Jalan menuju gumuk Kerang (doc. pribadi) |
Gubuk di persawahan dekat gumuk Kerang (doc. pribadi) |
Kami juga merasakan udara di
sekitar gumuk itu terasa lebih lembab. Saya pikir memang demikian yang terjadi
karena adanya gumuk ini mampu mempertahankan uap air lebih lama daripada tempat
terbuka. Akhirnya udara di sana jauh lebih sejuk. Kami pun merasa segar, meski masih
sekedar mendekati gumuk. Apalagi nanti ketika kami berada di atas. Duh, pasti
akan lebih asik, ditambah dengan pemandangan landscap dari ketinggian 50 meter
lebih.
Ah, jalan yang saya pilih
ternyata buntu. Untung saja tidak terlalu jauh dari percabangan jalan yang sempat
membingungkan kami tadi. Tidak ada jalan lain lagi, kami pun kembali dan
memilih jalan yang ke kanan. Ada tiga orang selesai mandi di sumur. Ternyata di
jalan yang kanan juga ada sumur. Saya pun bertanya kepada salah satunya,” Dek,
jalan ke gumuk Kerang ke sana ya, dek?”
“Iya, mas,” jawabnya.
“Makasih dek,” kataku.
“Tapi kayaknya sih mas,”
lanjutnya. Kami pun tetap melanjutkan perjalanan meski timbul sedikit keraguan
karena tambahan jawaban tadi.
Sekitar 20 meter dari situ, Ulil sudah
ingat kembali jalannya. Jalan setapak terlihat mengarah ke atas. Beberapa pusara,
ada satu mawar di salah satunya. Seperti sebuah
judul puisi, pikirku. Saya abadikan dalam foto. Ah tapi saya merasa takut. Sementara
itu Ulil sudah berjalan duluan. Saya pun jalan menyusulnya, diikuti oleh Budi.
Setangkai mawar di atas pusara (doc. pribadi) |
Jalan mendaki (doc. pribadi) |
Semangat Ulil terlihat dari
langkahnya yang kelihatan ringan. Padahal gumuk Kerang ini menanjak ke atas
dengan sudut kemiringan lebih dari 45 derajat. Apalagi dengan batu-batu kerikil
yang membuat kaki harus kuat menjejak dan tangan menahan. Kalau tidak bisa
terpeleset jatuh. Sekitar hanya sepuluh menit saja perjalanan mendaki itu. Ulil
sepertinya memang terlalu semangat sampai meneriaki saya dan Budi. Kami pun
bergegas dan sampai.
Puncak gumuk ini benar-benar
memperlihatkan hamparan Jember yang dibatasi dengan perbukitan. Gedung-gedung
mengecil, hijau pepohonan dan semuanya seolah menjadi teratur. Tak nampak lagi
sampah, tak nampak lagi ironi-ironi yang kami lihat di jalan tadi. Udara juga
berbaik hati. Semilirnya menyegarkan urat-urat syaraf mata dan otot yang tegang
ketika mendaki tadi.
Senyum keceriaan tergambar jelas di
wajah kami. Meski si Budi terlihat sangat kelelahan, tapi itu hanya sebentar
saja. Ketika saya bilang baterai hp sudah mulai habis, dia pun bergabung mengabadikan
momen-momen kemenangan kami atas matahari, waktu, dan utopia.
Dari lereng gumuk Kerang (doc. pribadi) |
Saya (doc. pribadi) |
Ulil (doc. pribadi) |
Budi (doc. pribadi) |
Para penantang matahari (doc. pribadi) |
Dari puncak gumuk Kerang (doc. pribadi) |
Gumuk ini menjadi satu simbol kemenangan para pemuda
atas dunia di bawah. Berbagai macam ironi yang terukir jelas di mata kami. Kami
akan merasa sangat sakit ketika di atas sini nanti akan jadi dibangun sebuah
monumen pancang atas nama kepedulian terhadap gumuk. Padahal mereka sedang
membangunnya dengan tangan kotor yang malah akan meruntuhkan gumuk ini.
Bukanlah sebuah simbol monumen yang kami harapkan! Tapi keyakinan memandang
masa depan!
Komentar
Posting Komentar