Langsung ke konten utama

Buletin Jum'at (Bukan) Media Propaganda


Ummat Islam 'Ummatan Wahidah'. Begitulah judul yang terpampang dalam buletin Jum'at Edisi 496/11 Juli 2014, terbitan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Universitas Jember. Buletin yang kerap kali mencoba untuk menelaah kondisi sosial di dalam negeri ini lewat kacamata Islam. Sesuatu yang menurut saya layak untuk diapresiasi, karena mau mencoba untuk selalu setia menelaah dinamika islam dalam setiap momen.

Seperti artikel yang ditulis pada Jum'at ini. LDK mencoba untuk menelaah kondisi politik dalam negeri yang memang kebetulan sedang 'panas'. Artikel itu menghimbau umat islam agar menjaga persatuan. Karena umat islam adalah ummatan wahidah. Sebuah kaum yang disatukan oleh kesamaan keyakinan. Kesamaan ini tidak terbatasi oleh warna kulit, darah, maupun teritorial. Sebuah konsep persatuan selayaknya konsep multikultural yang menitikberatkan pada kemanusiaan. Hanya saja konsep Islam ini lebih mengacu pada realitas spiritual yang menurut saya pribadi berada satu tahap di atas konsep humanity.

Konsep spiritual Islam punya konsekuensi sendiri pada sebuah aturan langsung dari tuhan. Aturan dari Yang Maha Memberi kehidupan. Artinya, dari logika awam seharusnya aturan itu dapat diterima oleh berbagai macam kehidupan manusia di dunia ini. Siapapun dalam setiap konteks ruang dan waktu. Diterima di sini berarti selalu dapat disesuaikan di mana pun, dan kapan pun.

Namun, dalam realitanya konsep Islam ini telah tereduksi. Malah menjadi sebuah lembaga otoritas yang membatasi. Islam menjadi lembaga dan punya otoritas kekuasaan pada setiap orang yang berada di bawahnya. Hingga akhirnya Islam menjadi pembeda antara muslim dan non muslim. Yang lebih ekstrim lagi adalah antara muslim dan kafir.

Seperti itulah yang tergambar pada buletin Jum'at itu. Media ini menjadi media propaganda yang semakin membuat manusia terbelah antara dua golongan. Dan ketika terjadi pembedaan itu timbul batas antara setiap golongan yang diklaim oleh orang-orang muslim sendiri. Padahal tuhan sendiri telah memerintahkan untuk mengajak kepada kebaikan. Yang dalam bahasa arabnya adalah berdakwah. Dalam artian kebaikan di sini harus dimaknai secara universal yang bisa diterima oleh setiap manusia. Namun, kenyataannya kita sendiri membingkai persepsi baik itu dari kacamata kita sendiri. Apakah kemudian ketika hal itu terjadi wahyu yang diturunkan untuk seluruh umat manusia akan bisa diterima oleh setiap manusia? Tentu tidak!

Kembali pada media buletin Jum'at ini. Apresiasi saya begitu besar pada media ini. Bagaimana pun buletin Jum'at ini selalu fakus pada berdakwah. Hanya saja saya melihat buletin ini terlalu lekat pada propaganda dengan ego sektoral yang begitu naif. Media ini selalu menunjukkan ayat tanpa usaha aktualisasi. Sangat naif pada usaha doktrinasi. Padahal buletin ini berada di wilayah kampus, dalam lingkungan intelektualitas, yang selalu mengedepankan logika berpikir kritis.


 Kita tidak bisa memaksakan pada propaganda pada media ini, yang bahkan tak seorang pun tertarik membaca. Apakah media ini akan seperti ini terus tanpa berpilir untuk evaluasi dan melihat dengan mata terbuka, bahwa sudah bukan waktunya lagi asal-asalan dalam menulis tanpa melalui proses penelaahan lebph dalam.

Sudah saatnya kita menantang diri kita untuk menjadi media yang lebih diakui, lebih kredibel, sehingga mampu dipertanggungjawabkan. Aktualisasi diri dan membaca jaman dengan arif dan bijaksana. Islam bukanlah lembaga konservatif!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.