Langsung ke konten utama

Food #not for Sale


Food not for sale, sebuah kalimat yang tidak mungkin terwujud dalam dunia ini. Makanan telah menjadi komoditas nomor satu dunia. Sejak manusia mulai mengenal alat pertukaran. Sejak keluarga membesar dan mulai mendiferensial, kemudian muncul kelompok-kelompok dengan setiap perbedaannya. Anggota kelompok terus membesar dan mengklaim kepemilikannya.

Dunia yang dibangun oleh orang jawa, mangan ora mangan asal kumpul, kini tidak berlaku lagi. Saya melihat slogan itu sebenarnya dalam sebuah konteks konseptual ekonomi. Konsep gotong royong kebersamaan dalam membangun ekonomi bersama. Itulah yang mungkin ingin disampaian oleh leluhur bangsa jawa. Mangan merupakan simbol dari sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ora mangan berarti sebuah resiko yang seharusnya ditanggung bersama atas sebuah usaha ekonomi yang dilakukan bersama-sama (kumpul). 

Namun, itu menjadi keniscayaan. Sebuah konsepsi yang hanya menjadi wacana, karena belum sampai wacana itu membumi kita telah hancur diserang oleh ideologi barat. Sebuah ideologi yang menawarkan kemodernan. Ideologi yang terlalu cepat kita anggap sebagai sebuah prestisme keberadaban.
Setiap orang di dunia ini kala itu telah terjajah. Jaman ketika terjadi persaingan penjelajahan dunia oleh para kaum barat. Mereka mencoba untuk memberikan satu poros kebenaran di dunia ini. Dan sayangnya mereka berhasil. Dunia sepakat bahwa mereka telah mencerahkan dunia. Mereka pada abad ke 18 itu telah menyelamtkan dunia memasuki era rasional. Kemudian bermunculanlah ilmuwan-ilmuwan dunia dengan berbagai macam teorinya. Mulai dari filsafat modern, matematika, ilmu sosial, biologi, fisika, kimia, dan astronomi. Sementara para tradisionalis dihujat dengan mistisme yang tidak pernah bisa dilogikakan.
Saya tidak berniat untuk membela para tradisionalis. Malah sebaliknya, saya pikir mereka seakan tidak pernah mencoba untuk mempertahankan tradisi pemikiran mereka. Saya pikir dan yakin setiap hal yang menjadi tradisi pasti ada alasan untuk terus dipertahankan, dan punya peluang untuk bisa diterima oleh rasionalitas. Meski mungkin hal itu sangat sulit.

Karena jika dihubungkan dengan sebuah konsepsi yang saya sampaikan tadi ternyata hal itu bisa saya terima. Dan saya yakin akan bisa diterima oleh banyak orang lainnya. Hanya saja harus meletakkan sudut pandang pada konteks tradisionalis itu.  Dan hal itu akan sangat sulit dipahami oleh para rasionalis yang merupakan tokoh-tokoh kapitalisme dunia. Mereka meyakini bahwa manusia cenderung rakus dan tamak, kemudian akan terus-menerus ingin menguasai kekayaan alam dan manusia. Perbedaan itu begitu kontras.

Makanan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kebutuhan bersama. Makanan dijadikan sebagai kebutuhan pribadi (personal). Akhirnya makanan menjadi komoditas, kemudian berubah lagi menjadi gaya hidup. Hingga akhirnya makanan bernilai bukan pada letak kebutuhannya, tapi nilai prestisnya.
Apakah memang makanan menjadi kebutuhan paling personal, sedangkan satu keluarga masih bisa sama-sama memenuhi kebutuhan bersama untuk makan? Apakah hanya karena keinginan untuk lebih dianggap terhormat, sedangkan pretis itu adalah penilaian dari sesama manusia? Sebenarnya yang paling disayangkan adalah kenapa kita mendukung penghormatan terhadap ketimpangan itu, sedangkan kita kesulitan mendapatkannya.

Pada akhirnya kita harus mengakui keunggulan dari sifat manusia yang rakus dan selalu ingin menguasai. Manusia memang tidak pernah akan merasa puas. Segala macam substansi telah lenyap dari kesadaran. Yang kita lihat sekarang adalah kerakusan-ketamakan.

Makanan yang secara natural kita hargai sebagai kebutuhan primer, kini telah berubah secara kultural menjadi komoditas, prestis dan taste. Selamat menikmati makanan priyayimu, makanan eleganmu, makanan kerenmu, kemudian simpanlah setelah mengisi energimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.