Langsung ke konten utama

Bumi Ini Tidak Hanya Indonesia

Tuntutan zaman mengalihkan diriku untuk lebih bisa memandang terhadap luas cakrawala yang membentang. Terdapat begitu banyak warna disana. Semua warna terkombinasi dan memunculkan keragaman bak serpihan bias cahaya prisma.
Juga terlihat ada sebongkah awan hitam menggumpal yang hendak datang menutup semua imagi dan cita. Tahulah setiap manusia, apa yang akan datang terlebih dahulu. Karena semua ada konsekuensi. Aksi dan reaksi tidak hanya terjadi pada bola pingpong yang bertolak dari meja kayu dan bet karet. Begitupun semua makhluk hidup mulai yang tidak berakal hingga berakal.
Sejak tadi malam serasa dunia ini hanya sebatas laut-laut dan pulau dalam lingkup nusantara. Padahal sejak sekolah dasar dulu sudah diajarkan tentang geografi. Ratusan negara dan kota harus selalu siap untuk dieksplorasi di dalam setiap otak murid-murid kecil. Beragam suku juga telah dikenalkan mulai suku Aborigin hingga Indian. Namun juga sayang beribu sayang, perkenalan itu hanya lewat gambar yang hanya menarik untuk dilihat saja. Tak pernah diajarkan untuk dimengerti bahwa mereka juga hidup seperti kita di dunia yang sama. Tidak pernah ada bayangan bahwa esok hari mereka datang bertamu kerumah kita.

Sekarang beribu karya mereka mengetuk setiap gerbang bahkan menemani setiap detik kita bernafas. Sedangkan, kita masih belum sadar bahwa mereka bukan dari negeri dongeng. Mereka nyata. Bekerja dan mempertahankan hidup seperti layaknya kita orang Indonesia.
Jika banyak dari tetangga kita yang bekerja sebagai TKI di luar negeri, mereka bahkan lebih dari sekedar bekerja diluar negeri. Dunia ini seakan sangat sempit bagi mereka. Tanah di belakang rumah mungkin saja sudah di taksir oleh mereka. Bukit dan ladang yang tidak dimanfaatkan, akan menjadi buah mutiara dan itu mungkin sekali bisa mereka dapatkan.


Seorang teman pernah berbincang soal Dalailama yang berkunjung ke negeri ini. Dalam suatu acara di TV, Dalailama mengatakan bahwa kekuatan paling dahsyat adalah kekuatan keyakinan. Saat kita masih saja menganggap bahwa orang di belahan bumi lain hanyalah cerita dongeng, mereka sudah berada disini dan meyakini disini bukan negeri dongeng.
Imaji hanyalah hayalan dan hidup ini adalah realita. Kesadaran dan realita berada pada posisi aktif sedangkan imajinasi pada posisi pasif. Bukan maksud untuk menyalahkan imaji, namun kita hanya tidak tepat menempatkan imaji itu. Imaji untuk berkarya, sedangkan realita untuk bekerja.
Terkenang jaman dulu saat negeri ini masih berupa kerajaan-kerajaan. Setiap rakyat seakan mempunyai dewa yang bisa langsung mereka lihat. Entah kerinduan seperti apa sehingga mereka mewujudkan sosok dewa pada wujud manusia. Akhirnya timbul kepatuhan yang lebih daripada kepada tuhan. Riwayat ini terus berlangsung hingga membentuk masyarakat foedal yang mengikat setiap langkah masyarakat di negeri ini. Dewa dalam diri setiap raja pun menurun pada pemimpin-pemimpin, orang tua, guru, pejabat dan semua yang dianggap lebih tinggi.
Di lain pihak orang-orang dari negeri dongeng itu dapat membuat kapal, meriam, dan senjata api. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa dunia ini bulat. Akhirnya mereka datang bak dewa-dewa yang lebih hebat dari pada dewa-dewa kita. Dan 350 tahun merupakan masa penyempitan dunia kita. Semakin bertambah hari pada masa-masa itu ruang relita dan kesadaran kita semakin kecil. Dan kemerdekaanpun seakan hanyalah imajinasi.
Hari ini sudah 66 tahun negeri ini merdeka. Secara berangsur juga mata dan telinga kita semakin lebar. Langkah dan penciuman kita pun juga semakin luas. Dan rasa pedaspun tidak hanya berasal dari cabe saja. Semua ini nyata dan tak ada rekayasa. Meminjam kata dari Friedman seorang wartawan yang menulis  buku The Worl Is Flat, dunia ini semakin datar, karena semakin mudah kita melihat dunia yang berada dibelahan bumi lain. Tidak ada lagi negeri dongeng, suku-suku asing yang kita kenal lewat buku ternyata bukan karangan. Dan mereka bisa saja seketika berada di depan kita.
Kita harus segera berlari mengejar mereka. Kompetensi saat ini bukanlah lagi antar suku, antar negara, namun antar individu. Setiap orang di belahan bumi manapun memiliki akses yang sama di belahan bumi manapun juga. Jika tidak percaya, tengoklah berbagai jejaring sosial yang sudah tak asing bagi anak sekolah dasar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...