Langsung ke konten utama

Belajar Komentar dari Teater Indonesia

Saya benar-benar tidak mengerti apa yang harus saya komentari dengan beberapa fenomena-fenomena ini. Kurs mata uang Rupiah sedang anjlok, ada orang bernama Tuhan, ada penggusuran Kampung Pulo, ada Rizal Ramli. Sebelumnya ada Trigana Air, ada Muktamar NU plus Muhammdiyah. Ada juga sebelumnya MUI sedang sibuk merespon masalah riba.

Terbentuk sebuah panggung teater di sana. Banyak orang yang pastinya menyaksikan dengan berbagai macam emosi. Khususnya bagi orang-orang yang ada di daerah. Yang jauh dari pusat pemerintahan. 

Ada yang marah, ada yang panik, ada yang buat grup hatres, ada yang jadi lovers. Sepertinya semua orang memang masih ingin jadi bagian dari negeri ini. Kalau tidak, pasti banyak orang yang tidak acuh dengan semua itu.

Begitu juga dengan saya secara pribadi. Ada keinginan untuk selalu merespon gejala-gejala yang ada di atas pentas tersebut. Saya tidak bisa hanya berdiam dengan beberapa hal yang mengganggu nurani saya. Mungkinkah itu senada atau malah berkebalikan dari kebanyakan orang.

Karena itu adalah sikap politik. Wajar dimiliki oleh orang yang berpendidikan. Tanpa adanya sikap itu, saya tentunya tidak akan pernah belajar lebih. Apalagi akan semakin kompleks permasalahan yang terjadi. Semakin banyak pula yang dipelajari.

Dalam skala yang lebih besar, sikap dari seorang seperti saya tidak akan berpengaruh apa-apa. Apalagi hanya sisa-sisa masa utopis saya dulu. Masa dimana masih berada di dalam organisasi kemahasiswaan. Tapi di sanalah letak realitas kehidupan saya mulai terbangun.

Benturan keyakinan, dan kenyataan yang berbeda. Hingga membuat orang seperti saya ini bisa berpikir, kenapa sebuah fenomena itu terjadi. Ada berbagai macam kontras yang membangunkan kepekaan sosial.

Di situlah cara saya belajar cultural studies. Yaitu lewat panggung tetaer politik Indonesia. Beberapa jam sebelum menulis tulisan ini, saya membaca sebuah artikel tentang Hasan Tiro. Dia adalah pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Artikel itu dapat ditemui di pindai.org.

Dalam kisahnya seorang Hasan Tiro adalah pemuda kritis. Dia juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dia selalu menekankan kata "Indonesia" dalam setiap perjuangannya. Meski demikian, dirinya dianggap makar dan menjadi pemicu disintegrasi bangsa.

GAM kemudian dicap sebagai organisasi sepratis. Kecintaannya diinjak-injak oleh negeri yang dicintainya sendiri. Siapa yang tidak terenyuh dengan kondisi seperti itu?

Namun demikian, adakah hal yang lebih mudah untuk dia lakukan dalam mempertahankan ideologinya? Selain juga mempertahankan diri dari kekerasan.

Itu adalah tragedi. Pemimpin negara saja bingung dalam menyikapinya, apalagi saya. Hahaha...

Dan itu juga, kalau saya sendiri tidak terus belajar dengan berbagai fenomena yang ada, bagaimana saya akan belajar tentang politik. Dimana politik itu selalu saja diibaratkan sebagai medan perang. Apakah memang seperti itu? Politik tak pernah ada kompromi? Apakah memang benar harus ada pengorbanan dalam berpolitik?

Sepertinya kita masih belajar bernegara. Kita seperti membangun peradaban yang tidak jelas apa orientasinya. Kalau hanya mencari untung, kenapa tidak meruntuhkan negeri ini, kemudian membangun perusahaan saja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...