Langsung ke konten utama

Idul Adha: Khotib yang tidak tahu permasahan perbedaan

Idul adha menjadi momen suci bagi kaum muslim sedunia. Seperti halnya hari raya idul fitri, hari ini menjadi waktu berkumpulnya keluarga dan kerabat-kerabat dekat. Mereka tidak sedikit yang berbeda faham, ideologi, dan pendapat. Namun, bagaimana yang akan terjadi jika ternyata ada orang yang mengklaim dirinya paling benar dan tidak menghargai pendapat orang lain?

Tidak Seharusnya Membakar yang Lain
[http://nietroozz.blogspot.com/2005_07_01_archive.html]

Kemarin, saya pergi mengunjungi seorang kawan di Probolinggo. Hari itu bertepatan dengan hari Jum’at sekaligus menurut penanggalan qomariyah, adalah hari tarwiyah. Ada juga yang menyebutnya Arofah. Perbedaan penanggalan ini sudah umum terjadi. Dan banyak orang sudah mulai terbiasa dengan perbedaan tanggal-tanggal qomariyah. Seperti halnya hari raya idul fitri kemarin. Banyak orang tak lagi mempermasalahkannya. Mereka tetap menjalankan ibadahnya masing-masing, sesuai dengan keyakinan kelompoknya masing-masing.

Hanya saja pada hari itu, ketika saya mengikuti khotbah Jum’at di salah satu Masjid di Probolinggo, khotib berbicara seolah permasalahan tanggal ini tak pernah terjadi. Dia mengajak jama’ah sholat Jum’at menyangsikan keyakinan kelompok muslim yang berbeda pendapat dengan dia. Saya sangat geram mendengar khotbah itu.

Awalnya saya tidak ingin mendengarkan khotbah. Kondisi tubuh saya sedang tidak baik. Tiga kali saya muntah-muntah waktu mau berangkat ke Probolinggo dari Jember. Saya ingin tidur merasakan dinginnya lantai masjid, dan suara khotib yang biasanya sayup-sayup melenakan. ‘Ini waktu yang tepat buat tidur,’ pikirku. Suara pengeras suara tidak begitu jelas, saya melihat banyak orang di shaf-shaf lainnya sudah banyak yang tertidur. Pas sekali, tidak akan ada yang menegur.

Sayup-sayup suara khotib membuatku penasaran. Saya melihatnya. Tipikal mukanya sering saya lihat. Berjenggot panjang dengan noda hitam di jidatnya. Biasanya tipikal wajah itu sering melakukan tindak kekerasan mengatasnamakan agama. Saya mulai fokus mendengarkan.

Dia mengatakan kalau di Mekah sana sekarang sudah hari Arofah, di mana besoknya sudah masuk hari raya Idul adha. “Semua muslim di dunia harus mengikuti waktu mekah,” lanjutnya.

Mendengar itu perasaan saya sudah mulai tidak enak. Masjid yang saya tempati itu mungkin saja sudah kemasukan orang-orang Islam ekstrimis. Atau malah memang masjid itu adalah masjid mereka. Saya ingin sekali keluar dari sana.

“Kita harus mempertanyakan keyakinan mereka, yang masih berpuasa pada hari Sabtu besok!” katanya dengan mantab.

Mendengar kata itu saya hampir tidak bisa menahan emosi saya untuk keluar dari sana. Tapi hal itu tidak saya lakukan. Saya berjanji jika nanti menemukan namanya saya akan mengirimi surat. Yang isinya akan mengutuk kebodohannya. Tapi, ternyata saya tidak menemukannya di Masjid itu, saya pun langsung pergi meninggalkan masjid itu secepatnya setelah selesai sholat Jum’at.

Saya tidak habis pikir, kemana orang itu ketika di banyak media gencar diberitakan tentang perbedaan-perbedaan yang terjadi pada momen-momen hari raya muslim. Kenapa dia masih saja berbicara seolah dia orang paling benar? Saya tidak habis pikir juga ketika pada usia yang kira-kira sudah 35 tahun itu, pikirannya masih seperti anak kecil yang lulus SD pun belum.

“Kurang ajar! Khotib tadi ngajak perang jama’ah Jum’at,” saya mengumpat di depan teman-teman.

“Emang apa isi khutbahnya tadi? Saya tidak dengar,” kata teman saya.

‘Untunglah, berarti banyak orang juga tidak mendengar. Tiga orang ini saja tidak dengar,’ pikir saya.

“Khotib itu goblok. Nggak paham pluralisme. Masak dia ngatakan kalau orang-orang yang masih puasa besok harus dipertanyakan keyakinannya. Masih untung puasa, wong itu puasa sunah,” ungkap saya.

Teman-teman saya pun sebenarnya sudah memahami tentang perbedaan yang selama ini terjadi. Mereka sudah terbiasa. Dan pasti begitu juga dengan banyak orang lainnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang merasa paling benar, yang berbicara seperti itu. Pasti ada kepentingan di balik perkataan yang bisa berdampak pada terpecahnya ketentraman itu. Apalagi dia sebagai seorang yang di mata masyarakat adalah pemimpin. Berada di atas mimbar yang tidak semua orang bisa melakukannya.

Saya tidak tahu apakah masyarakat sekarang sudah mempunyai ruang dialektis di antara mereka. Yang saya temukan, kebanyakan masyarakat cenderung rensponsif ketika mendengar pernyataan dari pemuka agama, atau tokoh masyarakat lainnya. Penguasa, baik dari level palingkecil sampai elit politik seakan begitu mudahnya mengehegemoni masyarakat. Ruang dialektis masyarakat masih saja belum terbentuk. Jadinya, seorang penguasa bebas berkata apa saja, tanpa takut perkataannya terbantah.

Namun, saya juga menemukan, bagaimana sebuah media sosial seperti twitter, menjadi forum bagi masyarakat yang sudah mulai melek terhadap permasalahan sosial. Dua kondisi itu memang berbeda konteks tempat. Bisa saja secara gerakan masyarakat masih sangat pasif, tetapi sebaliknya kecenderungan mereka sangat aktif di ruang media sosial.

Kembali pada peristiwa yang saya temukan itu. Tentang kebebasan berpendapat memang sudah tak ada yang membatasi. Setiap orang bisa berpendapat apa saja. Hanya saja apakah mereka, khususnya khotib itu, tidak menggunakan nuraninya ketika berbicara seperti itu di depan khalayak? Apakah mereka hanya mementingkan kepentingan kelompoknya? Apakah dia akan senang, jika nantinya terjadi tindak kekerasan kepada kelompok lainnya? Apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini sempat terpikir olehnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...