Langsung ke konten utama

Merasa Hidup di Car Free Day

Pagi tadi aku merasa terlahir ke dunia. Ketika kulihat sinar matahari pagi, yang warnanya kuning cerah, hangat, dengan udaranya yang dingin-dingin menyejukkan. Banyak orang dengan memakai pakaian trining, kaos, sepatu cat, naik sepeda, jalan, menuju ke satu arah alun-alun kota Jember.

Sinar matahari itu menurun, memendekkan bayang-bayang pohon, gedung, rumah, dan bangunan lainnya yang menghalanginya dariku. Aku, di atas sepeda motor mengangkat tanganku setinggi mungkin untuk meraih sinarnya. Tanganku menghangat, saat sinarnya mulai mengenai ujung-ujung kukuku. Ada keceriaan mencoba membuncah dari dadaku, lantaran sensasi yang sudah lama tak kurasakan.

Alun-alun kota, sedang berlangsung car free day. Kuparkir sepeda dan berjalan mengikuti arus manusia mengitari lapangan berbentuk lingkaran. Keceriaanku juga aku hembuskan ke setiap orang lewat gelagatku dan tablo-tablo layaknya seorang lakon dalam teater. Gerakan-gerakan "aneh" mengikuti instruktur senam di lapangan, dan kata-kataku seolah keluar begitu saja. Aku lihat kawan di sebelahku hanya menanggapinya dengan biasa dan gelagat yang seperti biasanya, kaku dan gagu.

Ah, aku tak memikirkannya. Aku mencoba meregangkan otot-otot yang lama tak merasakan pagi, sinar matahari, dan udara alun-alun. Aku juga tak begitu memperhatikan lalu lalang cewek-cewek pagi yang terlihat tomboi dengan baju kasual, dengan kerudung maupun rambut sebahu yang diikat. Mungkin hanya sejenak, tidak terlalu mengalihkan dunia yang sudah aku bangun sedari matahari yang tadi memberiku sensasi. Ya, mungkin hanya sekilas saja yang cukup membuat sedikit komentar-komentar nakal antara aku dan kawanku.

"Ayok ke sana!" ajak kawanku ke kumpulan kios yang memang disiapkan untuk setiap agenda car free day. Akupun mengiyakan.
"Beli kopi sama rokok ya?" usulnya. Sedikit agak nggak sepakat tapi aku mengiyakan. Sebenarnya aku tidak ingin mengisi waktu itu dengan merokok dan kopi. 'Bukan waktunya,' pikirku untuk sebuah momen yang begitu jarang kurasakan. Tapi aku tidak ingin merusak mood kawanku itu.

Dia juga yang memilih tempat untuk kami duduk, ngopi, dan ngrokok. Kucoba mencairkan suasana hatiku sendiri yang sebenarnya sudah mulai merasa tidak nyaman. Aku lebih memilih terus berjalan dan mengikuti arus dari pada duduk dan memandangi orang yang berlalu lalang. Itu membuatku merasa "aneh". Seperti seorang penonton yang berjarak, tak mampu merasakan bagaimana orang-orang yang berjalan di depan kami seolah mereka ke sana dan menikmati setiap detik waktu itu.

Ah, kenapa aku membuang moodku gara-gara sesuatu yang juga "aneh" seperti itu. Aku berpikir kayaknya topik "aneh" cocok buat obrolan kami saat itu.
"Di sini aku merasa aneh cuy," ungkapku ke kawanku itu mengawali obrolan.
"Kenapa?" tanyanya menanggapi.

"Entahlah. Tapi aku merasa ada sesuatu yang salah saat aku di sini. Melihat ruang sosial seperti ini apakah menjadi sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang? Ketika mereka mencoba mencari kesenangan, mencari ruang untuk mencari dirinya sendiri di tengah orang-orang yang tidak mengenal dirinya. Apakah ruang ini bisa menjadikan aku, kamu, dan mereka menjadi kita? Tidak. Yang bisa menjadikan kita adalah aku dan kamu saja. Karena aku dan kamu saling mengenal satu sama lain. Seharusnya ruang-ruang yang bisa menjadi kita itulah yang seharusnya terjadi di tempat seperti ini. 

Aku merasa salah tempat karena aku merasakan keberjarakan itu antara kita dan orang-orang yang lalu lalang itu. Apakah mereka punya keinginan untuk saling terbuka satu sama lain? Tidak. Mereka hanya mencoba menjadi satu dengan identitas yang mereka kenakan. Sedangkan kita di sini seperti orang aneh yang sama sekali tidak menghargai wacana kesehatan yang dibangun di tempat ini. Kita malah membuat polusi, dan mengisi tubuh kita dengan racun. Siapa yang aneh ketika kita hanya minoritas yang dilihat dari identitas yang berbeda dengan mereka? 
Aku pernah suatu ketika ke tempat rekreasi bersama teman-temanku. Tapi masing-masing dari mereka tidak menyediakan waktu untuk bicara, malah mereka sibuk dengan hape masing-masing, dan tidak mengacuhkan yang sedang bersama mereka. Aku tidak merasakan menjadi kita saat itu," cerocosku.

Kawanku itupun mengiyakan dengan beberapa argumennya. Dia mulai lagi mengomentari orang-orang di depan kami. "Keanehan-keanehan" itu bermunculan, keberjarakan antar mereka sudah mulai terlihat jelas di mata kami.
"Ada dua pertentangan antara pesenam muda dan tua di depan kita. Mereka mencoba saling beradu untuk mendapatkan pengakuan dengan suara musik dan instruksi keras, kemudian identitas lainnya," katanya.

"Pertentangan-pertentangan itu selalu saja muncul. Bukan hanya antar mereka dan kita. Dalam pertentangan selalu saja ada pertentangan lain. Selalu saja ada mikrokosmos dari setiap hal kecil kan? Aku dan kamu juga pasti ada pertentangan," kataku melanjutkan.

Kemudian, seorang kawan datang menghampiri kami. Memakai jas almamater, dia dan seorang kawannya menawarkan kelepon untuk tugas kewirausahaan dari kampusnya. Dengan enggan aku mencoba mengalihkan topik ke pembicaraan lain tentang tugasnya. Dia menawarkan lagi dengan agak memaksa, tapi tetap saja aku menolaknya dengan halus. Mungkin karena dia mengenalku dengan baik, dia pun memberikannya kepadaku dengan syarat. Tanda tangan dan foto bareng. Tanpa berpikir aku mengiyakannya. 

(do. pribadi)

"Ah, kita terlalu banyak omong. Sebenarnya kita lah yang aneh. haha," kataku setelah kawanku yang menawarkan jajannya pergi, kami pun tertawa.

"Ya, andai saja hanya satu orang saja yang senam dengan gerakan-gerakan seperti itu pun, pasti orang-orang yang melihatnya juga merasa aneh. Ayok kita jalan lagi, kita coba melebur dengan ruang ini," ajakku.

Kamipun melanjutkan obrolan kami dengan hal-hal lain. Aku sudah menemukan kembali mood-ku untuk menikmati momen itu. Kembali bisa merasakan hidup di dunia yang jauh dari dunia utopis. Di dunia sebenarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...