Langsung ke konten utama

Teruslah Bercerita!

Kau yang semestinya jadi kekasihku...
Aku teringat dengan tulisan Pram dalam sebuah novelnya, Anak Semua Bangsa. Jika kau belum membaca bukunya, boleh kan jika aku ceritakan sekilas saja? Katamu kau suka mendengar ceritaku dengan detail. Kau tak suka jika aku hanya mengatakan, "Ceritanya bagus!" "Sama saja bohong," katamu kemudian, dan meminta pertanggungjawabanku.
Begitu juga dengan aku. Aku suka saat kau bercerita dan membuatku tertawa. Kali ini aku ingin bercerita untukmu. Karena entah kapan lagi aku bisa bercerita seperti dulu.
Dalam salah satu bab, Minke, tokoh utama novel tersebut tengah mengalami kesedihan. Kekasihnya, Annelis, direbut oleh orang yang mengklaim adalah keluarganya. Padahal kau tahu, Annelis adalah anak seorang bangsawan Belanda dengan seorang Nyai Jawa. Saat ayahnya meninggal, orang Belanda yang masih punya darah dengan ayahnya, meminta Annelis sebagai ahli waris untuk dibawa ke Belanda. Sedangkan Nyai Jawa, dianggap bukan siapa-siapa. Padahal dialah yang melahirkan dan membesarkan Annelis.
Tapi, saat itu hukum seperti halnya sekarang hanya berpihak pada orang besar. Apalagi bangsawan Belanda, yang menciptakan hukum untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Annelis pun dibawa dengan paksa ke Belanda. Meinggalkan Minke, dan ibunya.
Tidak hanya Minke dan sang Nyai yang sedih. Annelis jauh lebih sedih, sampai dia mengalami shock yang berpengaruh ke mentalnya. Annelis jatuh sakit pada waktu perjalanan ke Belanda. Jangan kau bayangkan waktu itu sama dengan sekarang. Waktu itu, belum ada pesawat terbang komersil. Sehingga Annelis harus menempuh jalur laut yang begitu panjang.
Kondisi perjalan yang sangat jauh membuat tubuh Annelis semakin lemah. Diapun meninggal sesaat setelah sampai di Belanda. Tragisnya lagi orang yang mengaku keluarganya sama sekali tidak menghiraukan Annelis. Bahkan, Annelis tidak dimakamkan dengan layak.
Kau bisa bayangkan bagaimana perasaan Minke dan sang Nyai kan? Seorang kekasih dan anak direbut untuk dibunuh. Bayangkan betapa kesedihan itu mengganggu jiwa dan mental Minke.
Dalam suasan berkabung itulah Minke harus tetap hidup. Traumatik dengan Belanda dan ketidakberdayaan Jawa membuatnya malah membenci Jawa. Padahal, Minke sendiri adalah seorang anak Bupati yang seratus persen Jawa. Jawa Totok.
Minke termasuk orang yang beruntung. Dia berkesempatan menempuh pendidikan Eropa. Yang saat itu menjadi pusat peradaban tidak hanya di Jawa, tapi dunia. Semua orang pribumi sangat segan melihat Minke yang selalu berpakaian Eropa, apalagi dia juga terpelajar.
Dalam kesehariannya, Minke dikenal sebagai penulis. Dia rajin menulis di koran internasional. Tulisannya dibaca oleh banyak orang. Khususnya adalah orang-orang yang bisa bahasa Belanda. Karena, Minke hanya mau menulis dengan bahasa itu.
Sudah terpatri dalam kepalanya, semua yang berbau Eropa adalah hebat. Dia ingin agar para pribumi mengikuti gaya hidup orang Eropa yang modern, berpendidikan. Sehingga pribumi bisa lebih beradab.
Dengan tulisannya dalam bahasa Belanda itu, Minke menceritakan semua yang dialaminya. Diapun mendapat banyak dukungan dari orang-orang Eropa. Tapi semua itu percuma, Annelis sudah tidak bisa kembali.
Entah seperti apa penafsiran orang lain yang membaca cerita itu. Tapi menurutku Minke egois. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia menulis hanya untuk simpati dari orang Eropa. Tidak ada dalam pikirannya, sesama pribumi dapat membantunya. Secara tidak langsung dia juga merendahkan pribumi.
Kemudian datang seorang Eropa lain. Namanya Kommer, seorang jurnalis dari koran lokal Surabaya. Dia orang yang yakin bahwa pribumi bisa bangkit. Kommer melihat hal itu dalam diri orang-orang seperti Minke. Hanya saja, kebanyakan orang-orang seperti Minke selalu menganggap Eropa lebih superior.
Kommer mencoba mengubah sudut pandang Minke. "Menulislah dengan bahasa ibumu. Agar pribumi lain punya harapan untuk bangkit," katanya. Bahkan Kommer menyindir dengan begitu keras kepada Minke, "Kamu tidak kenal bangsamu sendiri!"
Tapi untuk mengubah persepsi seseorang sangatlah sulit. Minke pun demikian. Minke marah besar saat dibilang tidak mengenal bangsanya sendiri. Namun kata-kata itu selalu dipikirkannya. Dia kemudian merasakan juga apa yang dimaksud oleh Kommer. Dia memang benar-benar tidak begitu mengenal dengan bangsanya sendiri.
Kesepakatan pikiran Minke itu ditemukannya saat suatu hari dia bertemu dengan seorang petani yang rumahnya berada di tengah-tengah kebun tebu. Minke menemukan realitas yang sebelumnya tidak pernah dia baca dalam buku-buku Eropa.
Trnodongso, nama petani itu punya sebidang tanah dan rumah di tengah kebun tebu. Sedikit demi sedikit tanahnya dirong-rong oleh pabrik tebu milik kompeni. Pabrik bahkan menggunakan cara-cara licik agar tanah Trunodongso itu bisa diambil alih. Yaitu melalui orang-orang pribumi sendiri, terutama kepala desa.
Jika tidak mau menyewakan tanahnya, Trunodongso akan dilemahkan dengan berbagai cara. Lewat saluran irigasi yang diputus, lewat akses jalan yang diputus, bahkan lewat kekerasan. Tapi Trunodongso tetap tidak mau menyewakannya. Apalagi harga sewa sangat kecil. Untuk satu bahu, hanya bisa dimakan untuk sebulan saja. Trunodongso adalah satu-satunya petani yang menolak menyewakan tanahnya. Kemampuan beladirinya yang membuatnya tetap mampu bertahan.
Minke menemukan Trunodongso karena melihat ada keganjilan di kebun tebu saat dia pergi jalan-jalan. Saat itu, Trunodongso sedang mengusir orang-orang yang memaksanya menyewakan tanah. Penasaran, dan tertantang untuk mengetahui secara langsung bangsanya sendiri, Minke mendekatinya.
Demi membuktikan dia juga bisa mengenali bangsanya Minke maju. Meski tatapan merah mata Trunodongso mengancam. Apalagi Trunodongso sedang membawa senjata tajam. Dengan sangat hati-hati dia mencoba berbicara kepada Trunodongso. "Aku bukan bagian dari mereka. Aku kesini hanya ingin tahu persoalanmu. Mungkin bisa membantu," kata Minke merayu Trunodongso.
Akhirnya Trunodongso pun luluh. Dia menerima Minke, dan kesempatan itu dimanfaatkan Minke mengetahui apa yang menjadi masalah petani tersebut.
Dua hari Minke menginap di sana. Dia mendapatkan cerita-cerita yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Intinya, semua petani pemilik lahan yang lahannya disewakan kepada pabrik tidak mendapat ganti yang sesuai. Sementara para mendor dan pejabat pabrik hidup mewah.
Minke pun menuliskan semua kisah itu. Dia mengakui dia memang belum mengenal bangsanya sendiri...
Aku ingin bercerita lebih panjang lagi. Jika cerita ini selesai, akan kulanjutkan dengan cerita-cerita lainnya. Tapi apakah kau mau terus mendengarkan cerita-ceritaku? Ahhh......
Tapi mungkin lebih baik kau mulai membaca ceritanya sendiri. Kau punya cara baca sendiri yang berbeda dengan cara pandangku. Kau ungkapkan itu semalam tadi.
Kau yang semestinya jadi kekasihku. Aku ingin terus bercerita dan terus mendengar ceritamu....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...