Langsung ke konten utama

Pesan dari Kawan


Hari ini, hari biasa dengan kebiasaan hari-hari sebelumnya. Tidur bagaikan bayi. Tanpa ada kecemasan dan tanggungan. Pulas. Pagiku adalah jam 10.00 WIB. Tidak seperti kebanyakan orang yang sibuk mempersiapkan pernak-pernik peralatan untuk meneruskan kehidupan. Bisa dikatakan seorang pengangguran, meski banyak juga pekerjaan yang harus dilakukan.
Satu pesan masuk ke dalam ponsel. Pesan elektronik itu membangunkanku dengan suara yang begitu keras. Terkadang, memang sudah aku set untuk membangunkanku tapi aku juga selalu jengkel dengan suaranya, saking jengkelnya aku matikan dan aku copot baterenya. Setelah sadar aku jengkel dengan diriku sendiri.
Satu pesan itu membuat kecemasan dan tanggungan yang sudah beberapa minggu terpendam kembali menyeruak menghimpit dada. Seperti semalam, kegalauan melanda diriku. Kejengkelan pada pacar karena tak pernah mengerti apa yang aku inginkan. Sangat kekanakan memang, aku sadar dan aku menyalahkan diriku sendiri. Selalu seperti itu.
Pesan itu juga akhirnya membuatku tidak lagi merasa sendiri. Seperti yang aku ucapkan semalam pada kekasihku. “ Entahlah aku bingung. Aku selalu merasa sendirian meski banyak orang, meski dalam keramaian, meski kamu di sini atau jauh..”. Aku merasa tidak ada yang menyertaiku dalam menempuh perjalanan kehidupan ini. Rasa-rasanya aku melawati jalan yang salah. Ujung jalan yang aku tuju terasa sangat gelap. Keyakinanku akan suatu kebahagiaan cinta hanyalah kehampaan. Kepercayaan yang hanya menjadi kenyataan abu-abu. Antara ada dan  tiada.

Sejenak aku menyelami kesunyian diriku. Aku dapati diriku sendiri diam tak bergerak di depan persimpangan jalan. Lama sekali aku tidak bergerak. Dan waktu terus saja mengingatkanku. Namun aku tetap saja tak mau bergerak. Aku lebih tertarik pada kemalasan. Dalam bayanganku dia berwujud seperti Si buruk rupa dan kotor.
Begitupun saat pesan itu datang. Aku masih saja terdiam. Tidak ada yang aku gerakkan dari anggota tubuhku. Namun, gerakan respon neutron dalam saraf berpikirku mulai berjalan dan lama kelamaan berlari. Saraf kehendakku itu mengaktifkan ruang imajinasi yang sudah lama tidak aku gunakan. Sama halnya dengan ruangan-ruangan yang ditinggalkan. Usang penuh dengan debu dan sarang laba-laba.
Aku harus menggunakan tenaga ekstra dalam penggunaan ruangan ini. memang ini kesalahanku sendiri yang tak pernah menggunakannya, hingga aku harus mulai dari awal lagi. Dan aku ingin berlari mengejar ketertinggalanku. Bagiku ketidaktahuan adalah kebodohan. Dan kebodohan adalah kesalahan. Semua orang akan berpikir apa saja yang aku kerjakan selama ini sampai-sampai hal yang semua orang tahu aku sendiri saja yang tidak tahu.
Pesan itu membangunkanku dan membuatku berada pada sebuah ruang komando. Ruang sentral dari puluhan jalur informasi. Tapi ruangan itu mati. Seharusnya ruangan ini membuatku selalu dicekoki dengan alur informasi yang tidak henti-hentinya mengalir. Dan seharunya aku harus benar-benar pusing dengan putaran informasi yang semakin  besar menarik segala macam informasi di sekitar. Tapi sekarang nol. Air yang seharunya berputar, diam tenang tanpa ancaman apapun. Sama sekali tidak menghanyutkan. Sebaliknya sangat cocok untuk membersihkan sebuah nama besar di papan yang telah lama menggantung.
Dunia ku telah terbagi menjadi puzzle-puzzle yang tersusun acak. Terlihat polanya sangat menarik. Akan tetapi ini tidak sesuai dengan yang seharunya terjadi. Dilematis.
Teringat sebuah film Thailan berjudul First Love A Little Thing Called Love dan film negeri ini, Tendangan Dari Langit. Ada sebuah unsur yang sama antara kedua film itu. Sebuah pergolakan, bisa juga dikatakan kegalauan antara dunia cinta dan dunia cita. Pak Darto yang diperankan oleh Sujiwo Tedjo mengatakan bahwa cinta tak dapat dibagi. “Kamu harus mencintai salah satu untuk mendapatkannya. Kamu tidak bisa mencintai dan mendapatkan kedua-duanya”.
Kedua film itu pun berakhir dengan happy ending. Meski awalnya harus memilih salah satu, toh akhir cerita, mereka mendapatkan kedua-duanya. Aku tidak ingin mengatakan itu hanya kelakar dunia imajinasi. Realita memang sangat jauh dengan dunia bayangan. Namun disanalah hidup keyakinan-keyakinan yang membuat manusia menjadi manusia modern seperti sekarang. Dunia khayalan yang tercipta pada 500 tahun yang lalu. Saat manusia masih memimpikan bagaimana seseorang bisa terbang.
Seluruh alam semesta ini tidak serta merta mengabulkan apa yang diyakini oleh manusia di bumi. Semua butuh proses yang panjang. Tidak serta merta terjadi begitu saja seperti mie instan.
Sangat sentimentil memang saat aku yakin dengan sesuatu. Meski bagi orang lain itu tidak mungkin, pasti akan terus aku coba dengan berbagai macam cara sampai benar-benar bisa. Dan sering  kali aku harus meyakinkan keraguan orang lain dari sesuatu yang aku yakin bisa. Sampai-sampai aku berpikir bagaimana seseorang bisa sulit untuk percaya. Padahal kepercayaan sudah mulai ditanamkan mulai dari kita kecil. Dari dalam kandungan pun tak henti-hentinya seorang ibu mengirim sinyal-sinyal itu melalui prosesi nyidam. Mungkin saja sekarang, dunia ini sudah terbagi menjadi jutaan dunia. Kotak-kotak kehidupan membatasi ego untuk meyakini dan merekontruksi masing-masing kepercayaan individu. Tapi entahlah, itu terlalu konyol.
Aku cermati lagi pesan itu. Aku tanggalkan pesan pada dunia cintaku. Meski berat, meski perasaan ini sakit. Kini, ku kirimkan pesan keakraban pada dunia cita yang juga ku cinta. Bukan berarti aku meninggalkan cinta, namun cinta bukanlah hal yang harus dipilih atau ditinggalkan. Cinta adalah cara bagaimana seseorang menjalani kehidupan.

Macapat cafe
06 Agustus 2012
12 : 35 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...