Dua minggu ini banyak hal yang menjadi perhatian saya. Banyak pelajaran juga yang saya dapat dari berbagai macam hal tersebut. Mulai dari pekerjaan, keluarga, dan asmara. Ditambah lagi bagaimana cara pandang saya terhadap sosial masyarakat di sekitar saya. Oh ya satu lagi, saya juga merasa ada keberjarakan antara saya dan tuhan. Saya benar-benar merasa menjadi manusia biasa.
Saya pikir saya adalah orang yang sentimentil. Saya tidak bisa berfokus pada satu hal. Semuanya sepertinya terus memasuki pikiran saya silih berganti. Kadang-kadang juga berbarengan. Apalagi ketika pada kondisi dimana saya berhenti dan memikirkan hal itu semua.
Sebenarnya langkah demi langkah sudah saya pastikan untuk berjalan. Hanya saja, sama sekali progress reportnya sering kali tertinggal. Bahkan hilang. Padahal, ingatan itu harusnya terus bisa mengisi puzzel-puzzel kehidupan saya. Sehingga saya bisa dikatakan mampu belajar dari pengalaman.
Kemampuan belajar yang saya miliki ternyata tidak bisa saya pertahankan. Timbul tenggelam. Kadang muncul di permukaan, kadang hanyut dibawa aliran.
Melihat ini semua, saya teringat puisi yang pernah saya buat ketika masih berada di masa awal kuliah. Ada semacam agenda rutin di unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian Dolanan yang saya ikuti. Namanya Undo, yaitu unek-unek Dolanan. Dalam agenda itu, anggota Dolanan harus menampilkan kesenian secara personal. Buah dari proses yang dilakukan selama sebulan.
Saat itu, tidak ada yang bisa saya buat kecuali hanya puisi. Padahal kawan-kawan saya waktu itu sudah bisa menampilkan bentuk kesenian yang menarik. Ada tari, musik, teater monolog, bahkan lukisan. Saya sama sekali tidak punya kemampuan seperti itu. Kecuali hanya menulis.
Tidak ada seorangpun yang tidak bisa menulis. Itu adalah kemampuan dasar. Apalagi bagi manusia zaman sekarang yang sudah berpendidikan sejak kecil. Dan menulis adalah yang saya pilih. Karena memang selain itu saya tidak bisa.
Saya merasa takjub melihat kemampuan teman-teman saya yang lain. Mereka seolah berjarak begitu jauh dari saya. Coba bayangkan, kawan-kawan saya itu secara skill mampu menampilkan pertunjukan yang tidak semua orang bisa. Menyanyi dengan suara merdu, menari dengan begitu lembut, bermain peran dengan pendalaman yang kuat. Sedangkan saya, hanya memegang lembaran puisi.
Giliran saya untuk menampilkan karya saya. Judulnya ada "Orang Biasa"
Lembaran kertas itu adalah naskah yang saya buat. Saya lupa kapan tanggalnya, yang jelas pada tahun 2009, saat saya masih semester dua di Jurusan Teknologi Hasil Pertanaian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.
Saya pun membacanya dengan biasa. Tanpa menggunakan mimik layaknya orang yang mendeklamasikan puisi. Meski saya coba untuk mendeklamasikan, itu pun percuma. Karena kawan-kawan saya bilang, saya ngeflate.
Waktu itu malam sudah larut. Saya senang, saya benar-benar didengarkan oleh mereka. Bahkan jangkrik pun sepertinya tidak berani mengganggu saya membaca. Empat lembar puisi itu tidak saya baca dengan cepat. Saya ingin menikmati setiap kata yang telah keluar dari buah pikiran saya. Yaitu menjadi manusia biasa dan mensyukurinya.
mas cetar :')
BalasHapusDik Maya...
Hapus