Langsung ke konten utama

Antara Aku, Kau, dan Ibumu

Malam-malam begini dengar lagunya Jamrud. Terasa langsung menyentil ke jantung. Sepertinya lagu-lagu satir seperti itu lebih gampang ngena. Karena dia lebih lugas menyampaikan maksud. Tidak bertele-tele, apalagi terlalu mendaramatisir, seperti tulisannya para orang-orang yang mengaku bermoral.

"Tidur lah nak, malam telah larut. Jangan tunggu ibumu yang telah kabur" 

Sedangkan kamu, harus ganti popok anakmu, sampai anakmu bertahun-tahun lamanya bisa berdiri, lari, atau sampai menikah nanti. Sebenarnya itu sangat gamblang bagaimana kamu ditinggalkan, dan terlalu sayang dengan apa yang ditanamkan oleh dia.
Lelaki bisa hilang gengsinya karena kehilangan seorang wanita. Siapa yang mau seorang lelaki harus menjadi bapak sekaligus ibu. Akan lebih sedikit ditemui daripada seorang ibu yang juga menjadi bapak. Jamrud mencoba untuk menentang budaya patriarki itu. Malahan mereka mencoba memberikan kesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Suara kasar Jamrud pun tidak mengurangi bagaimana cara dia membuat orang lain menjadi sedih. Dia masih saja harus berjibaku dengan anak kecil, denga hal-hal yang sebenarnya lebih manusiawi daripada menganggap diri seperti nabi. Yang perkasa, dan selalu memenangkan peperangan.

Mungkin saja, seorang Jamrud (jika dia berubah menjadi sosok satu orang), seperti kita lihat juga dalam film 
Taken. Film yang dibintangi Bryan Mills itu hampir persis seperti sosok Jamrud. Orang yang begitu keras, seorang agen, tapi membiarkan dirinya menangis di depan anaknya sendiri.

Seperti itulah mungkin sisi-sisi sentimentil laki-laki dalam sosok tubuh bertato. Hal itu begitu jelas ketika melihat tubuh laki-laki yang semakin ringkih. 

Bisa jadi logika itu berlaku. Ataupun tidak, juga bukan menjadi hal yang perlu untuk diperdebatkan. Iya toh?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini. ...

Refleki diri

Dengan apa aku bicara dengan apa aku bekerja. Entah sudah berapa minggu tidak kugerakkan tanganku untuk menancapkan perasasti di atas tanah maya ini. sebuah bentuk elegy yang menjadi nisan dalam mayat-mayat orang yang mati suri. Sadar, kesadaran apa yang harus selalu dapat menggerakkan semua organ. Semua tertempel dengan perekat pikiran. Dengan alam sebagai obyek dan juga diri sebagai obyek. Selalu tersubordinat dalam bentang khayalan yang tidak pasti. Kerja-kerja organpun tersia dari batas fisik yang tak mampu menembus imaji. Tak pernah turun menjadi kenyataan yang bisa dipegang ataupun sekedar diingat. Semakin tidak jelas dengan semakin jelasnya posisi. Memang tiadanya keseimbangan mangacau fokus di dalam ataupun di luar. Semua kabur hanya tertinggal pikiran hampa. Kosong. Namun begitu banyak sampah berserakan di dalamnya.

Tengu, Si Hewan Setia

Tengu, katanya seekor hewan penggigit yang setia dengan empunya. Ukuran hewan kecil ini 0.5-1 mm. Sulit sekali untuk melihatnya. Aku nulis ini bukannya ada masalah dengan si tengu, tapi gara-gara aku penasaran banget dengan yang namanya tengu. Soalnya kata orang tengu itu binatang paling kecil sedunia. Memang masih diragukan banget sih. Soalnya saingan si tengu itu cacing. Ada yang bilang binatang yang paling kecil tuh cacing. "Logikanya seperti ini, tengu itu kan binatang yang katanya paling kecil kan? padahal ada tengu cacingen. Nah,,, tahu sendiri kan?" Pendukung tengu pun tak kalah debat. "Cacing juga bisa tenguen. iyakan?" Perdebatan ini seperti perdebatan klasik antara duluan mana telur dengan ayam. Namun, bagiku aku lebih membela pendukung tengu daripada pendukung cacing. Ini berawal ketika tengu membuatku menang dalam adu tebak-tebakan. Lebih tepatnya tengu membuatku enggak gariing lagi, hehe... Dan inilah awal dari rasa penasaranku sama yang naman...