Langsung ke konten utama

Aku dan Malam Ini

Aku dan malam ini bersama dengan sebuah cerita. Ada semacam keresahan ketika dejavu tiba-tiba datang membawa kenangan. Momen ketika dulu banyak sekali hari terisi dengan gelak tawa dan duka. Proses-proses belajar berseni dan memainkan peran dalam teater. Berkawan dengan teman-teman yang haus dalam mencari jati diri masing-masing. Momen itu kini telah berlalu. Muncul dan mengingatkanku dalam dejavu-dejavu.
Aku lupa, sudah dejavu yang keberapa. Seperti ketika tadi aku berbicara dengan seorang kawan, mengobrol di warung kopi. Sebuah momen kembali terulang, sekejap aku terdiam. Menerawang gejala yang membuatku bingung apakah peristiwa yang baru terjadi sudah pernah terjadi sebelumnya. Secara tiba-tiba aku rindu dan khawatir. Apakah momen ini hanya menjadi kenangan saja? Momen ketika aku bisa bersama tiap waktu, berbicara apa saja, tentang prihal apa saja tanpa harus menutup-nutupi. Waktu berjalan dan melahirkan ribuan konsekuensi. Kedatangan dan kepergian. Pertemuan dan perpisahan.
Itu keresahanku saat ini. Seorang teman pernah berkata dalam gurauannya,
"Kapan kamu meninggalkan kami? Karena kami siap meninggalkan dirimu." 
Kalimat itu membuatku merenung, ternyata aku masih takut meninggalkan tempat ini. Meninggalkan sesuatu yang telah aku bangun begitu lama. Enam tahun, terjadi begitu banyak hal. Dinamika mulai terbentuk, optimisme terbangun, dan kedewasaan mulai tertanam pada kultur-kultur lingkaranku. Semua itu ternyata membuatku begitu naif dan egois.
Sulit sekali aku beranjak dari posisi ini. "Seharusnya kamu harus cepat mencari kerja, meninggalkan komunitas mahasiswamu, dan mencari kehidupan yang lebih realistis," kata abangku. Aku hanya bisa mengiyakannya saja. Meski sebenarnya aku tahu apa itu semua, aku tahu setiap konsekuensi yang nantinya aku ambil, aku tahu benar-benar tahu. Tapi, itu masih dalam dunia ideku saja. Entah dalam sikap dan pelaksanaannya akankah sesuai? Aku pun masih belum tahu.
Aku dan malam ini, satu dari sekian momen yang membuatku berpikir tentang diriku sendiri. Mungkin ruang itu kini lebih sedikit dibandingkan dengan ruang-ruang dimana aku selalu resah dengan sekitarku. Muluk memang, karena ruang privasiku terlalu kecil, meski dalam pikiran. Aku yang selalu tidur di mana selalu ada orang lain yang berhak atas tempatku tidur. Aku yang selau berada di tempat di mana orang lain juga punya hak atas tempat yang aku diami.
Aku dan malam ini selalu ingin berbicara apa saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.