Langsung ke konten utama

Bukan Cerita

Jalan-jalan ke Lombok. Kedengarannya begitu asik bukan? Tahu sendirilah bagaimana rasanya. Terserah saudara mau membayangkan seperti apa. Iri? pastilah anda semua iri. Tapi sebaiknya anda tak usah ke sana. Saya tidak mau membicarakan seindah apa landscapenya. Karena dari sudut pandang yang sedikit diubah pastilah anda akan mendapatkan keindahan atau kepuasan bagi pikiran anda. Karena dunia ini adalah konstruk pikiran anda saja. Tidak lebih.

Ketika melihat pantainya pastilah sama dengan pantai-pantai di setiap belahan bumi ini. Lebih indah atau lebih bersih? Itu hanya bagaimana seperti pepatah rumput tetangga pasti selalu terlihat lebih hijau. Namun saya percaya kalau setiap nama dari sebuah tempat akan terasa lebih istimewa dengan perlakuan yang juga istimewa.

Duh, kenapa saya malas untuk bercerita tentang keindahan tempat? Sepertinya manusialah sebenarnya warna itu. Cerita-cerita hanya lahir dan tercipta untuk menemukan diri manusia sendiri dalam dunia ini. Waktu dan tempat hanyalah sebuah dimensi kosong yang tak berarti tanpa kehadiran manusia.
Apa artinya waktu dan tempat tanpa adanya "aku"? Kosong. Berbeda jika kuawali ceritaku tadi seperti ini

Beberapa rombongan pers mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia, berbarengan menuju Lombok. Bukan untuk keindahan pantainya atau mengisi hari libur. Malah di tengah masa aktif kuliah, mereka berkumpul menyusun konsepsi perjuangan bersama untuk Negeri ini.

Kedengarannya memang agak terlalu naif. Tapi itu lebih saya sukai ketimbang harus menceritakan tentang keindahan yang sama sekali absurd. Keindahan hanya sebuah kebanggaan semu jika itu hanya untuk ditunjukkan kepada orang lain. Baginya mungkin prestis, tapi bagi orang lain tidak. Keindahan atau apa saja yang dirasakan oleh seseorang sifatnya juga personal. Tidak mungkin bisa dirasakan sama oleh orang lain.

Tapi, tidak ada salahnya juga ketika anda tetap memaksa ingin pergi. Dengan jarak yang jauh dan pesona nama Lombok tentu selalu memikat hati tiap orang. Dua modal dapat membawa anda ke sana, bahkan kemanapun yang anda inginkan, yaitu waktu luang dan kemauan. Serta ingat, yang selalu menjadi warna bukanlah tempat, namun manusia.

Bening di Pantai Nipah, Sengigi (doc. pribadi)



Setelah mandi bareng di pantai Nipah, Senggigi (doc. pribadi)

Di Ketinggian melihat tiga pulau Gili (doc. pribadi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAJAR SESUAI DENGAN KEBUTUHAN BELAJAR SISWA TUNAGRAHITA

Oleh : Ardhika Yusuf Bakhtiar Pendidikan adalah hak bagi setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seperti tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu dengan keterbatasan intelektual yang signifikan. Dalam memberikan pendidikan kepada siswa tunagrahita, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengajar sesuai kebutuhan siswa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pentingnya pendekatan ini dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita. Mengajar sesuai kebutuhan siswa adalah pendekatan yang menekankan pada individualitas dan keunikan setiap siswa. Dalam konteks pendidikan khusus tunagrahita, setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini memperhatikan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, minat, gaya belajar, dan tingkat perkembangan. Salah satu langkah penting dalam mengaj

TV, Kipas Angin, dan Galon yang Lepas

Seperti biasa, ketika emosi meluap seperti ini aku sulit mengeluarkan beban pikiran. Aku cenderung akan diam lama. Wajah dan tubuhku semakin lemah, jika penyakit sedikit saja menyerang bisa-bisa aku akan terserang demam. Meski tidak pernah sampai opname, demam seperti ini membuatku harus istirahat total, untuk sehari penuh. Semoga saja menulis bisa menjadi alternatif obat. Hampir sebulan lalu, seorang teman bernama Nita, mengabari sesuatu yang membuat Macapat bisa tersenyum sangat lebar. Dia mengatakan bahwa kakak sepupunya akan memberikan TV, kipas angin, dan galon untuk Macapat secara cuma-cuma. Barang-barang itu akan melengkapi fasilitas Macapat dan dalam bayanganku sendiri Macapat akan menjadi lebih nyaman. Di lain sisi memang Macapat masih sangat kekurangan biaya. Namun untuk mendapatkan barang-barang itu kami harus mengambilnya ke Surabaya. Jarak Jember kesana memakan waktu 5 jam. Untuk mengambil barang-barang itu pun kami harus membawa mobil. Kalau naik kendaraan umum b

Mulai Tulis "Aku"

Aku baru ingat, aku jarang sekali menulis kata "aku". Dari hari ke hari, aku selalu menulis. Namun kata ganti pertama itu, selalu aku jauhi. Malah semakin jauh dari menulis kata aku, semakin lebih baik. Tidak adanya kata aku dalam tulisanku hanyalah sebuah keharusan semata. Pekerjaan memaksaku untuk menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengemukakan pendapatku sendiri, meski aku yang menuliskannya.  Tapi persoalan larangan menulis aku secara eksplist maupun implisit, masih dalam perdebatan. Sebenarnya bisa saja, aku menulis tanpa menyertakan kata aku, tapi itu adalah aku. Hanya konteksnya berbeda. Aku dalam "aku" dan aku dalam kalimat-kalimat penunjang aku berbeda fungsi. Ah, semakin rumit saja. Seorang kawan bertanya, "Terus bagaimana kabarmu? Ceritalah" Pertanyaan itu membuatku agak bingung. Apakah memang sebenarnya aku butuh untuk cerita tentang aku? Sedangkan aku sendiri tidak pernah menginginkan untuk kuketahui sendiri bagaimana aku ini.